Bukti Kemenangan Islam

"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu KEMENANGAN YANG GEMILANG." [QS. AL FATH : 1]

Bukti Kemenangan Islam

"Supaya Allah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan memimpinmu ke jalan yang lurus.Dan supaya Allah menolongmu berupa kekuatan yang tangguh." [QS. AL FATH : 2-3]

Bukti Kemenangan Islam

"Kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi. Dan Allah, adalah Maha Perkasa dan Bijaksana." [QS. AL FATH : 7]

Bukti Kemenangan Islam

"Sesungguhnya Kami mengutus kamu (Muhammad) sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kalian beriman kepada Allah dan RasulNya, memperkukuh AgamaNya, membesarkanNya, dan bertasbih kepadaNya siang dan malam." [QS. AL FATH : 8-9]

Bukti Kemenangan Islam

"Barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya, maka Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu neraka yang bernyala-nyala." [QS. AL FATH : 13]

Bukti Kemenangan Islam

"Dan kepunyaan Allah kekuasaan mutlak di langit dan di bumi. Dia mengampuni orang-orang yang dikendakiNya, dan menyiksa orang-orang yang dikendakiNya pula. Allah adalah Maha Pengampun dan Penyayang." [QS. AL FATH : 14]

Bukti Kemenangan Islam

"Sesungguhnya Allah telah meridhai orang-orang yang beriman, ketika mereka ber-janji-setia denganmu (Muhammad) di bawah pohon kayu. Tuhan telah mengetahui isi hatinya, dan menurunkan ketenteraman kepadanya. Lalu memberi pembalasan dengan kemenangan yang sudah dekat waktunya." [QS. AL FATH : 18]

Bukti Kemenangan Islam

"Dan Tuhan telah menjadikan pula kemenangan-kemenangan yang lain atas negeri-negeri yang belum kamu kuasai, yang oleh Allah telah dipeliharaNya untukmu. Dan Allah, adalah Maha Kuasa atas segala-galanya." [QS. AL FATH : 21]

Bukti Kemenangan Islam

"Kalau orang-orang yang kafir itu berani memerangimu, pastilah mereka kalah (hancur) lari kocar - kacir, lalu mereka tidak memperoleh perlindungan dan pertolongan." [QS. AL FATH : 22]

Bukti Kemenangan Islam

"Begitulah sunnatullah (Ketentuan Allah), yang telah berlaku sejak dahulu. Dan kamu sekali-kali tidak akan menemui perubahan pada sunatullah itu." [QS. AL FATH : 23]

Bukti Kemenangan Islam

"Ketika orang-orang kafir itu timbul perasaan sentimen dalam hatinya, yaitu sentimen jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenteraman hati kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, dan memantapkan kepadanya kalimat taqwa. Mereka lebih berhak dengan itu dan patut memilikinya. Allah Maha Mengetahui segala-galanya." [QS. AL FATH : 26]

Bukti Kemenangan Islam

"Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan nyata, yaitu bahwa sungguh kamu PASTI AKAN MEMASUKI MASJIDIL HARAM, insya Allah DALAM KEADAAN AMAN. Ada di antaramu yang mencukur rambut kepala dan ada pula yang hanya mengguntingnya saja, TANPA PERASAAN TAKUT." [QS. AL FATH : 27]

Bukti Kemenangan Islam

"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi." [QS. AL FATH : 28]

Bukti Kemenangan Islam

"Muhammad itu, adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengan dia, bersikap keras-tegas terhadap orang-orang kafir. Sebaliknya berkasih sayang di antara sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya. Tanda-tandanya kelihatan pada bekas-bekas sujud di mukanya. Demikianlah sifat-sifat mereka yang diungkapkan di dalam Taurat dan Injil." [QS. AL FATH : 28]

Bukti Kemenangan Islam

"Allah berkendak untuk menjengkelkan hati orang-orang kafir dengan menunjukkan kekuatan orang-orang mukmin. Allah telah menjanjikan ampunan dan pahala yang besar bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh di antara mereka." [QS. AL FATH : 28]

Saturday, October 30, 2010

Mengapa Harus Bermanhaj Salaf ?

Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf. Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).

Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafy atau As Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21).

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).

Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah telah berwasiat kepada kita:

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)

Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut: 

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : 

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin, 1/72).

Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya. Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: 

“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin disini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Ta'ala.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.

Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: 

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367). Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ 

Artinya : "Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu)." [QS Al Baqoroh: 137]

Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut: 

1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:  

“Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455). 

Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya. 

Al Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka  atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al I’tisham, 1/118).

2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : 

“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37). 

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: 

“…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: golongan yang aku dan para sahabatku mengikuti.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil–red) dalam perselisihan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara: - Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam. - Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan. - Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79). 

Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.

Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena: 
1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus. 
2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam. 
3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya. 
4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. 
5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 
6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika: 
  • Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun banyak orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63). 
  • Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil dari kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54). 
  • Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88). 
  • Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil dari kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88) 
  • Al-Imam As Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57). 
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149). Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155).

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawaab.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari, Lc, judul asli Mengapa Harus Bermanhaj Salaf, rubrik Manhaji, Majalah Asy Syariah.)

Sumber : Majalah Asysyariah dan Salafy.or.id

Thursday, October 28, 2010

Ngalap Berkah ala Jahiliyyah

Ngalap berkah alias mencari berkah ( التَّبَرُّكُ ) merupakan ibadah yang harus didasari keikhlasan dan ilmu, sebab sebagian orang salah dalam memahami makna ngalap berkah. Mestinya seseorang mencari berkah dari Allah -Ta’ala-, tapi mereka mencari berkah pada makhluk, dan tempat-tempat yang tidak dibenarkan oleh Allah -Azza wa Jalla-.

Realita ngalap berkah yang salah dan batil seperti ini, amat banyak kita temukan di bawah kolong langit. Tidak usah jauh melihat, lirik saja pemandangan aneh di Solo dengan adanya sekelompok manusia yang ngalap berkah (mencari berkah) dari seekor kerbau bernama "Kiyai Slamet". Sedihnya, mereka berebutan kotoran si kerbau dengan anggapan bahwa kotoran itu memiliki berkah yang bisa mendatang kebaikan dan menolak bala’. Na’udzu billah minasy syirki wa ahlihi.

Toleh saja kepada sekelompok manusia yang mengaku muslim saat mereka mendatangi kuburan orang-orang yang dianggap sholeh alias wali-wali, seperti kuburan Wali Songo, kuburan Syaikh Yusuf (Gowa, Sulsel). Mereka mendatangi kuburan-kuburan itu dengan meyakini bahwa penghuni kuburan memiliki berkah yang layak dicari dan diminta dari mereka. Demi mendapatkan berkah ini, disana mereka melakukan berbagai macam ritual ibadah yang tak pernah Allah perintahkan untuk dilakukan, seperti menyirami kuburan "wali-wali" tersebut dengan wewangian bercampur air, menabur bunga di atasnya, mengusap nisannya, membaca Al-Qur’an dan lainnya, melaksanakan sholat sunnah, bernadzar, menyembelih hewan ternak, berdoa di sisinya, dan banyak lagi macam ibadah dilakukan disana. Semua ini mereka lakukan sebagai bentuk ngalap berkah ( التَّبَرُّكُ ) dari selain Allah -Ta’ala-. Allah tak pernah memerintahkan hal tersebut, sebab itu adalah kesyirikan yang dahulu dilakoni oleh kaum Quraisy.


Para pembaca yang budiman, BERKAH ( الْبَرَكَةُ ), bila ditilik maknanya, maka ia berarti banyaknya, tetapnya, dan kontinyunya sesuatu yang memiliki kebaikan. Dengan kata lain, berkah itu adalah kebaikan yang banyak dan kontinyu pada sesuatu. [Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 160) oleh Syaikh Sholih bin Abdil Aziz At-Tamimiy, dan Tahdzib Al-Lughoh (3/373)]


Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menerangkan bahwa berkah hanyalah berasal dari Allah -Azza wa Jalla-. Dialah yang berhak memberikan berkah kepada sesuatu, bukan makhluk !!! Allah -Azza wa Jalla- berfirman,


"Maha Berkah Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam".(QS. Al-Furqon : 1)


Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman tentang Nabi Ibrahim,:


"Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan diantara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata".(QS. Ash-Shooffat : 113)


Allah Robbul alamin berfirman,


"Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup". (QS. Maryam : 31)


Tiga ayat di atas adalah dalil qoth’iy yang menunjukkan bahwa yang memberikan berkah (kebaikan yang banyak) kepada makhluk, hanyalah Allah -AzzawaJalla-, bukan makhluk. Ayat-ayat mulia ini merupakan bantahan keras atas para kiyai dan anre guru (sebutan kiyai di Sulsel) yang mengajarkan kepada para muridnya untuk mencari berkah dari sang kiyai saat mereka berjabat tangan dengan si kiyai atau menyentuh badannya.


Ketahuilah bahwa seseorang tak boleh menetapkan adanya berkah pada sesuatu, kecuali berdasarkan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Adapun kiyai, maka tak ada dalil yang menunjukkan adanya berkah pada tangan dan tubuh mereka. Jika ada yang menetapkannya pada si kiyai, maka ia adalah seorang pendusta lagi menyalahi petunjuk wahyu.


Ngalap berkah dari sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dibolehkan oleh Allah merupakan kebiasaan kaum musyrikin pada berhala-berhala mereka. Kaum musyrikin dahulu, mereka mencari berkah pada Laata, Uzza, Manaat, dan lainnya.


Allah -Ta’ala- berfirman menyinggung sembahan-sembahan batil yang biasa diharapkan berkahnya oleh orang-orang Quraisy,


"Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Laata dan Uzza, serta Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka". (QS. An-Najm : 19-23)


Tahukah kalian siapakah ketiga sembahan-sembahan batil ini??! Silakan dengar jawabannya dari pemaparan Al-Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- dalam Tafsir-nya, "Laata adalah sebuah batu putih yang terukir. Di atasnya terdapat sebuah rumah (bangunan) yang memiliki kelambu dan penjaga (security). Di sekitarnya terdapat pekarangan yang diagungkan oleh penduduk Tha’if, yaitu suku Tsaqif, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Mereka membangga-banggakan Laata atas suku lain di antara suku-suku Arab setelah Quraisy". [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (7/455)]


Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa Laata adalah kuburan seorang laki-laki yang dahulu menumbuk gandum untuk para jama’ah haji di zaman jahiliyah. Ibnu Abbas -radhiyallahuanhuma- berkata,

كَانَ يَلُتّ السَّوِيق عَلَى الْحَجَر فَلَا يَشْرَب مِنْهُ أَحَد إِلَّا سَمِنَ ، فَعَبَدُوهُ

"Laata adalah seorang laki-laki yang biasa menumbuk gandum di atas batu. Tak ada seorang pun yang minum darinya, kecuali ia akan menjadi gemuk. Akhirnya, merekapun menyembah Laata". [HR. Ibnu Abi Hatim sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bari (8/612)]


Dua pendapat ini tidaklah bertentangan, sebab orang yang menyatakan bahwa Laata adalah sebuah batu putih tidaklah menyelisihi orang yang menyatakan Laata adalah kubur atau penghuninya. Boleh jadi, batu itu adalah batu nisan yang diletakkan di atas kubur sehingga jika seseorang mengagungkan batu itu, maka secara tak langsung ia telah mengagungkan penghuninya. [Lihat Taisir Al-Aziz Al-Hamid (hal. 137) oleh Syaikh Sulaiman bin Abdillah At-Tamimiy, cet. Alam Al-Kutub, dengan tahqiq Muhammad Aiman bin Abdillah As-Salafiy, 1419 H]


Sedang Manat adalah sebuah arca milik suku Hudzail dan Khuza’ah di daerah Qudaid yang terletak antara Makkah dan Madinah [Lihat An-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits (4/808) oleh Ibnul Al-Atsir]


Adapun Uzza, kata Ibnu Jarir -rahimahullah-, "Uzza adalah sebuah pohon. Di atasnya terdapat bangunan dan kelambu yang terletak di daerah Nakhlah antara Makkah, dan Tha’if . Dahulu orang-orang Quraisy mengagungkannya". [Lihat Jami' Al-Bayan fi Tafsir Ayil Qur'an ()]


Pohon sembahan inilah yang telah ditebas oleh Panglima Islam, Kholid bin Al-Walid atas perintah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,

Dari Abu Ath-Thufail, ia berkata,

لمَاَّ فَتَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ بَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ إِلَى نَخْلَةَ وَكَانَتْ بِهَا الْعُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ وَكَانَتْ عَلَى ثَلاَثِ سَمُرَاتٍ, فَقَطَعَ السَّمُرَاتِ وَهَدَمَ الْبَيْتَ الَّذِيْ كَانَ عَلَيْهَا, ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ, فَقَالَ: اِرْجِعْ فَإِنَّكَ لَمْ تَصْنَعْ شَيْئًا, فَرَجَعَ خَالِدٌ, فَلَمَّا أَبْصَرَتْ بِهِ السَّدَنَةُ وَهُمْ حَجَبَتُهَا أَمْعَنُوْا فِي الْجَبَلِ وَهُمْ يَقُوْلُوْنَ: يَا عُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ, فَإِذَا هِيَ امْرَأَةٌ عُرْيَانَةٌ نَاشِرَةٌ شَعْرَهَا تَحْتَفِنُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهَا, فَعَمَّمَهَا بِالسَّيْفِ حَتَّى قَتَلَهَا, ثُمَّ رَجَعَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: تِلْكَ الْعُزَّى

"Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah merebut kota Makkah, maka beliau mengutus Kholid bin Al-Walid ke daerah Nakhlah, sedang di sana terdapat Uzza. Kholid pun mendatanginya, dan Uzza berupa tiga pohon berduri. Kemudian Kholid menebas pohon-pohon tersebut, dan merobohkan bangunan yang terdapat di atasnya. Lalu ia mendatangi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu kepada beliau. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, "Kembalilah, karena engkau belum berbuat apa-apa". Kholid pun kembali. Tatkala ia dilihat para security (para penjaga) Uzza, maka mereka mengintai di atas gunung seraya mereka berkata, "Wahai Uzza". Kemudian Kholid mendatangi Uzza, tiba-tiba ada seorang wanita telanjang yang mengurai rambutnya sambil menaburkan debu di atas kepalanya. Akhirnya Kholid menebas wanita itu dengan pedang sehingga ia membunuhnya. Beliaupun kembali ke Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, "Itulah Uzza". [HR. An-Nasa'iy dalam As-Sunan Al-Kubro (6/474/no. 11547), dan Abu Ya'laa Al-Maushiliy dalam Al-Musnad (no. 902). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Ali bin Sinan dalam Takhrij Fath Al-Majid (no. 103)]


Hadits ini merupakan dalil bahwa jika ada sebuah pohon yang dikeramatkan, disembah, dan diharapkan berkah atau kebaikannya, maka diwajibkan bagi penguasa muslim untuk menebangnya demi menutup pintu kesyirikan. Karena mengagungkan suatu pohon dan mengkeramatkannya sehingga diharapkan berkahnya merupakan kebiasaan jahiliyyah yang telah lama dilakukan orang-orang Yahudi, dan kaum paganisme alias penyembah berhala.


Inilah yang pernah diceritakan oleh Abu Waqid Al-Laitsiy -radhiyallahu anhu-,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا خَرَجَ إِلَى حُنَيْنٍ مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

"Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- keluar menuju Hunain, maka beliau melewati sebuah pohon milik kaum musyrikin yang disebut dengan "Dzatu Anwath (Yang memiliki gantungan)". Mereka menggantungkan padanya senjata-senjata mereka. Mereka pun berkata, "Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath". Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, "Subhanallah, Ini bagaikan sesuatu yang pernah diucapkan kaumnya Musa, "Buatlah untuk kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". (QS. Al-A’raaf : 138) "Demi (Allah)Yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian akan benar-benar mengikuti jalan hidupnya orang-orang sebelum kalian". [HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (2180), Ahmad dalam Al-Musnad (5/218), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah (hal. 202)]


Seorang ulama Andalusia, Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Al-Fihriy (wft 530 H) yang dikenal dengan "Ath-Thurthusiy" -rahimahullah- berkata saat mengomentari hadits di atas, "Perhatikanlah –semoga Allah merahmati kalian-, dimanapun kalian temukan sebuah pohon bidara atau pohon apa saja yang didatangi oleh manusia, dan mereka mengagungkan keberadaan pohon itu, mengharapkan kesembuhan darinya, mereka menggantungkan padanya paku-paku dan kain-kain, maka pohon itu adalah Dzatu Anwath. Karena itu, tebanglah pohon itu". [Lihat Kitab Al-Hawadits wa Al-Bida' (hal. 38-39) oleh Ath-Thurthusiy, dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Halabiy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1419 H]


Syaikhul Islam Ahmad Ibnu Abdil Halim An-Numairiy -rahimahullah- berkata, "Barangsiapa yang mendatangi suatu tempat sedang ia mengharapkan kebaikannya dengan mendatanginya, tapi syari’at tidak menganjurkannya hal itu, maka hal itu termasuk kemungkaran. Sebagiannya lebih parah dari yang lainnya, sama saja apakah tempat itu berupa pohon atau mata air, saluran air, gunung, atau gua; sama saja apakah ia mendatanginya untuk sholat di sisinya, berdoa di sisinya, atau membaca Al-Qur’an di sisinya, berdzikir kepada Allah di sisinya, beribadah (tirakatan) di sisinya, dimana ia telah mengkhususkan tempat itu dengan sejenis ibadah yang tempat itu tak pernah disyari’atkan untuk dikhususkan dengan suatu ibadah, baik tempat itu sendiri atau sejenisnya". [Lihat Iqtidho Ash-Shiroth Al-Mustaqim (2/118)]


Jadi, mendatangi suatu tempat, baik itu berupa pohon, kuburan, bangunan, dan lainnya dengan niat mencari berkah dan kebaikan merupakan kebiasaan jahiliyah yang harus ditinggalkan seorang muslim, yakni seorang muslim yang mau menapaki jalan dan petunjuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya.


Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 128 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)



Tuesday, October 19, 2010

Nasihat Al 'Allamah Rabi' ibn Haadi al Madkhali kepada Salafiyyin di Indonesia

Penulis: Al 'Allamah Al Muhaddits Rabi' ibn Hadi al Madkhali

Nasihat Al 'Allamah Rabi' ibn Haadi al Madkhali kepada anak-anak beliau, Salafiyyin di Indonesia

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه:


Amma ba’du:
Sesungguhnya aku menasehati diriku dan saudara-saudaraku salafiyyin dimana saja dan kepada seluruh kaum muslimin untuk bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, serta ikhlas dalam ucapan dan amalan, dalam perkara al-wala’ wal bara’ dan pada setiap perkara agama dan dunia. Aku menasehati mereka agar berpegang teguh dengan tali Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam aqidah mereka, manhaj, akhlaq dan seluruh urusan dalam kehidupan.

Yang ketiga: "Aku memberi wasiat kepada mereka untuk membangun persaudaraan karena Allah diantara mereka, saling mengasihi dan menyayangi, sehingga mereka seperti satu tubuh, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam :
( مثل المؤمنين في تراحمهم وتوادهم كالجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى )

[Artinya] : “Permisalan kaum mukminin dalam berkasih-sayang dan saling mencintai, bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh merasa demam dan tidak bisa tidur”

Ini merupakan perkara yang dituntut semaksimal mungkin, terkhusus pada hari-hari yang penuh dengan fitnah dan cobaan, merupakan keharusan untuk saling bersaudara dan mempererat persaudaraan tersebut. Serta mengedepankan akal dalam setiap perkara, dan menjauhkan diri dari menggunakan perasaan secara membabi-buta dan sikap fanatisme. Hendaknya mereka menjadi orang yang berakal, cerdik dan pandai, dan jangan sampai setan menggiring mereka :

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا

[Artinya] : Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” [QS. Al-Isra’: 53]
وَلاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ ﴿۳٤﴾ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

[Artinya] : “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” [QS Fushsilat: 34-35]

Ini nasehatku untuk diriku dan saudara-saudaraku, aku wasiatkan mereka untuk menjauhi sebab-sebab perpecahan, semua perkara yang mengantarkan kepada perpecahan, saling menjauhi, saling memalingkan diri dan memutuskan persaudaraan, maka wajib menjauhkan diri darinya.

Kita mengaku bahwa kita adalah Salafy dan kita beramal dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Kita mengaku menyeru untuk menyatukan kalimat kaum muslimin di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, namun ternyata kebanyakan dari kita – dan sangat disayangkan sekali - berjalan kesana kemari, dalam keadaan dia tidak peduli dengan perpecahan yang terjadi dan munculnya berbagai problem, saling hasad dan saling membenci. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar diselamatkan darinya.

Aku menasehati saudara-saudaraku di Indonesia, dan aku menasehati saudaraku di Yaman serta aku menasehati saudara-saudaraku salafiyyin di setiap tempat, agar hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam dakwah ini. Serta mempererat persaudaraan diantara mereka, hendaknya mereka saling bersaudara, saling menasehati dengan cara hikmah dan nasehat yang baik dan menjauhi kedengkian, kebencian, popularitas dan yang semisalnya.

Aku menasehati setiap setiap pihak dimana saja terhadap perkara-perkara ini yang telah diwajibkan atas kita, bukan hanya merupakan perkara anjuran, namun Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mewajibkannya dalam rangka untuk memelihara agama ini, memelihara aqidah, memelihara persatuan yang baik ini dari perselisihan dan perpecahan.

Kalian mengetahui bahwa musuh-musuh (dakwah Salafiyyah, pen) seluruhnya mengarahkan anak panahnya kepada dakwah Salafiyyah. Wajib atas kita sekalian untuk saling mengasihi, menyayangi, saling bahu-membahu dan berdiri di atas satu barisan untuk mengangkat bendera Islam, bendera Tauhid dan bendera Sunnah.

Kita membelanya dengan dalil, petunjuk, hujjah dan penjelasan. Jika kita saling bersaudara dan mempererat tali persaudaraan, maka manusia akan bersatu terhadap apa yang kita ucapkan dan mereka akan menerima dakwah kita.

Namun jika mereka melihat bahwa kita adalah orang yang paling suka berpecah, mereka akan lari dari kita, mereka akan mengatakan: jika sekiranya mereka berada di atas kebenaran, tentu perpecahan ini tidak akan terjadi diantara mereka, dan tidak akan terjadi perselisihan ini diantara mereka:

رَبَّنَا لاَ تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

[Artinya] : "Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami wahai Rabb kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [QS Al-Mumtahanah: 5]


Ini adalah fitnah –semoga Allah memberkati kalian-, Ibrahim 'alaihis salam dan yang bersamanya berlindung diri darinya, mereka berlindung diri dari menjadi fitnah bagi orang-orang kafir. Maka janganlah kalian –wahai salafiyyin dimana saja- menjadi fitnah bagi orang-orang kafir, bagi ahli bid’ah dan hawa nafsu.

Sebab perpecahan kalian - demi Allah - merupakan fitnah, - demi Allah - musuh-musuh akan bergembira, dan akan membuat mereka lancang terhadap dakwah ini, dan akan mencercanya dan mencerca Salafus Saleh. Kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menyatukan hati-hati kita, dan memberikan kepada kita semua telinga yang mendengar, hati yang berakal, yang senantiasa tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menjauhi sebab-sebab perpecahan dan perselisihan.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


(Transkrip dari kaset nasehat asy Syaikh Rabi’ ibn Hadi al Madkhali melalui telepon untuk salafiyyin di Indonesia dan yang lainnya, diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)

Berikut ini transkrip naskahnya dalam bahasa Arab:
نصيحة من العلامة ربيع المدخلي لأبنائه السلفيين في أندونيسيا
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن ابتع هداه:
أما بعد: فإنّني أنصح نفسي وإخواني السلفيين في كل مكان بل وسائر المسلمين بتقوى الله وتبارك وتعالى والإخلاص في القول والعمل، وفي الولاء والبراء، وفي كل شئون الدين والدنيا، وأوصيهم بالاعتصام بحبل الله عز وجل في عقائدهم وعباداتهم ومنهاجهم وأخلاقهم وفي سائر شئون الحياة، ثالثاً أوصيهم بالتآخي في الله، والتعاطف والتراحم حتى يصيروا كالجسد الواحد كما قال رسول r: (إنما المؤمنون كالجسد الواحد، إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى)، هذا مطلوب إلى أبعد الحدود خاصة في أيام الفتن وأيام المحن، لابد من التآخي والتلاحم والتعقل في الأمور والابتعاد عن العواطف العمياء وعن التعصبات، أن يكونوا عقلاء ونبلاء ونبهاء وأن لا يستفزهم الشيطان (وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوّاً مُبِيناً)، (وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ * وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ)، هذه نصيحتي لنفسي ولأخواني، أوصيهم بالابتعاد عن أسباب الفرقة كل ما يؤدي إلى الفرقة والتنافر والتدابر والتقاطع، فهذا يجب الابتعاد عنه، ونحن ندعي أننا سلفيون وأننا نعمل بالكتاب والسنة وأننا ندعوا إلى جمع كلمة المسلمين على كتاب الله وعلى سنة رسول الله r فإذا بكثير منا مع الأسف الشديد يذهب هنا وهناك ولا يبالي بما يحصل من الفرقة والمشاكل والتحاسد والتباغض نسأل الله العافية، أنصح أخواني في أندونيسيا وأنصح أخواني في اليمن وأنصح أخواني السلفيين في كل مكان أن يتقوا الله في هذه الدعوة وأن يتلاحموا فيما بينهم وأن يتآخوا وأن يتناصحوا بالحكمة والموعظة الحسنة والابتعاد عن الأحقاد والضغائن والتشهير وما شاكل ذلك، أوصي كل الأطراف وفي كل مكان بهذه الأمور المفروضة علينا ليست تطوعاً منا وإنما الله أوجبها حماية لهذا الدين وحماية لهذه العقيدة وحماية لهذا الجمع الطيب من التشتت والتفرق، وأنتم تعرفون أن الأعداء كلهم وجهوا سهامهم إلى الدعوة السلفية علينا أن نتراحم وأن نتعاطف وأن نتكاتف وأن نقف صفا واحدا نرفع راية الإسلام وراية التوحيد وراية السنة، ونذب عن ذلك بالدليل والبرهان وبالحجة والبيان، وإذا كنا متلاحمين ومتآخين اجتمع الناس لما نقول وتقبلوا منا ما ندعوهم إليه، وإذا رأوا أننا من أكثر الناس تفرقاً وتمزقاً نفروا عنا وقالوا: لو كان هؤلاء على حق لما حصل هذا التفرق بينهم ولما حصلت هذه الاختلافات بينهم، (رَبَّنَا لا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ) (الممتحنة:5)، فهذه فتنة بارك الله فيك استعاذ منها إبراهيم ومن معه استعاذوا بالله أن يكونوا فتنة للذين كفروا، فلا تكونوا أيها السلفيون في كل مكان فتنة للذين كفروا ولأهل البدع والأهواء، فإن تفرقكم والله فتنة والله يفرح الأعداء ويجرّؤهم على هذه الدعوة وعلى الطعن فيها وفي سلفنا الصالح. نسأل الله تبارك وتعالى أن يؤلف بين القلوب وأن يجعل منا جميعا آذانا صاغية وقلوبا واعية منقادة لله تبارك وتعالى، مبتعدة عن أسباب الفرقة والخلاف، وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم. والسلام عليكم وحمة الله وبركاته.

(Dikutip dari Darussalaf. Diterjemahkan oleh al Ustadz Abu Karimah bin Jamal al Bugisi dari kaset nasehat asy Syaikh Rabi’ ibn Hadi al Madkhali melalui telepon untuk salafiyyin di Indonesia dan yang lainnya)
Sumber : Salafy.or.id 

Monday, October 18, 2010

Membongkar Kejahatan Ihya'ut Turots - Musuh Salafiyyin

Penulis: Abu Abdillah Khalid Adh-Dhahawi
.: :.
Yayasan Ihya’ut Turots Selalu Menjadi Musuh Salafiyyin

Demikian pula, keberadaan mereka yang selalu menjadi lawan Salafiyyin di mayoritas tempat, contohnya di Kuwait. Mereka sungguh berbeda dengan kami, bagi mereka kelompok mereka dan bagi kami para ikhwah dan pemuda Salafiyyin. Sedikitpun mereka tidak ada hubungan dengan kami, bahkan mereka mentahdzir kami dan para masyaikh sunnah. Mereka mentahdzir Syaikh Rabi’ dan senantiasa memuji Abdurrahman Abdul Khaliq.

Adapun ucapan mereka, “Kami telah meninggalkan Abdurrahman Abdul Khaliq.” Ini adalah sebuah lelucon yang nyata karena Abdurrahman Abdul Khaliq jelas berada di yayasan Ihya’ut Turots, bahkan mempunyai kedudukan di Lajnah ‘Ilmiyyah Ihya’ut Turots. 

Terkadang jika engkau menelepon untuk meminta fatwa, maka mereka akan mengarahkanmu kepada Abdurrahman Abdul Khaliq sebagai penghormatan terhadapnya, dia ada dan tinggal di tengah-tengah mereka.

Tidak benar kalau mereka berkata: “kami telah meninggalkannya.” Bahkan, ada markas cabang Ihya’ut Turots yang menyelenggarakan muhadharah dan seminar bagi Abdurrahman Abdul Khaliq. Dengan ini jelaslah bahwa omongan mereka, “kami telah meninggalkan Abdurrahman Abdul Khaliq”, ibarat melemparkan debu ke mata hingga orang tertipu dengannya.

Orang mengetahui kesesatan Abdurrahman Abdul Khaliq dan mayoritas Salafiyyin mengetahui bahwa dia telah menyimpang. Asy Syaikh Bin Baaz, Asy Syaikh Al Fauzan, Asy Syaikh Rabi’, Asy Syaikh Al Faqihi, Asy Syaikh As Suhaimi dan Asy Syaikh Al Albani telah menjarh Abdurrahman Abdul Khaliq.

Mereka tidak mempunyai tipu daya lagi kecuali dengan mengatakan bahwa kami telah mengusir Abdurrahman Abdul Khaliq, padahal dia adalah saudara mereka yang mereka dan syaikh yang utama di kalangan mereka. Dengan pengakuan ini mereka ingin memalingkan para pemuda karena mereka tidak akan bisa masuk kepada pemuda Salafiyyin kecuali dengan menyebarkan berita dusta bahwa “Kami telah mengusir Abdurrahman Abdul Khaliq”.

Maka dengan ini kita harus bersikap tegas untuk tidak berhubungan dengan yayasan ini. Demikian pula, terhadap orang yang berhubungan dan bekerjasama dengan mereka padahal dia mengetahui keadaan mereka dan mendengar ucapan–ucapan ulama tentang mereka. Kita tidak akan membiarkan mereka merusak saudara-saudara kita Salafiyyin dan menipu mereka dengan yayasan ini.

Sesungguhnya, kita - demi Allah - sudah merasa cukup dengan masyaikh Ahlussunnah dan buku-buku Ahlussunnah dan kita tidak membutuhkan harta yayasan ini. Kita memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar memberi kita rezeki dengan keutamaannya dan menjadikan kita berkecukupan serta tidak memerlukan orang-orang yang ingin menyesatkan Salafiyyin dengan harta mereka.

Adapun jika mereka berdalil dengan fatwa ulama yang mendukung Ihya’ut Turots, maka kita katakan:
“Sungguh, kebenaran tidak diambil dari para tokoh, tetapi para tokoh itu yang diukur dengan kebenaran”. Menghukumi suatu masalah dengan melihat kenyataannya. Kami mengenal baik yayasan ini dan kalian pun mengenalinya dan mengenali sikap fanatiknya dan penyimpangannya dalam melawan sunnah dan Salafiyyin. Sehingga, jika ada yang datang kepada kita dan memuji mereka, tentu kita tidak akan menerimanya hanya semata-mata rekomendasi dan pujian.

Sesungguhnya, mereka mendatangi orang ‘alim dan menampakkan diri bahwa mereka berada di jalan Ahlussunnah dan menulis manhaj dan aqidah Ahlussunnah. “Yang menjadi ibrah bukanlah ucapan dan apa yang tertulis, tetapi yang menjadi ibrah adalah perbuatan dan sepak terjang kalian. Inilah sikap kalian terhadap orang yang menyimpang. Inilah sikap kalian terhadap Ahlussunnah, maka inilah yang menjadi ibrah.

Sedangkan, jika kalian berpenampilan bukan dengan penampilan kalian yang sebenarnya dan kalian mendatangi ulama untuk mendapatkan rekomendasi dari Ahlussunnah, sungguh jika datang seseorang kepada orang ‘alim dengan pengakuan seperti itu pastilah orang ‘alim itu akan berkata: ‘Jazakallahu khairan, ini adalah manhaj yang baik,” lalu mereka akan mengambil ucapan ini dengan beranggapan bahwa orang ‘alim ini telah memberikan rekomendasi.

Kita memiliki kaidah dan para ulama salaf juga telah meletakkan kaidah. Diantara kaidah tersebut adalah: “Kebenaran tidak dikenal dari seorang tokoh, tetapi seorang tokoh itu dikenali dengan kebenarannya.”, “Kritikan yang terperinci lebih didahulukan daripada pujian secara umum.” Jika datang seseorang kepada kita dan berkata: “Demi Allah tidaklah aku melihat keburukan mereka sedikitpun dan tidaklah aku ketahui kecuali mereka di atas kebaikan”, (maka kita katakan, pen.): “Sungguh hujjah bukanlah pada ucapanmu tetapi hujjah bagi siapa yang mengetahui hakekat yang sebenarnya, “Orang yang mengetahui lebih didahulukan ucapannya daripada yang tidak mengetahui.”

Kemudian -jika kita melihat kenyataan-, sungguh tidak seorangpun dari ahlul bid’ah yang menyimpang, maka akan ada perselisihan tentangnya. Maksudnya bahwa mayoritas mereka (ahlul bid’ah, pen.) yang ada sekarang sungguh masih ada perselisihan tentang mereka. Kalaulah menyikapi masalah ini dengan kaidah kalian bahwasanya, “Masih ada ulama yang memuji yayasan Ihya’ut Turots sehingga tidak boleh membicarakan keburukannya”, maka kalau begitu di sana juga ada ulama yang memuji Sayyid Quthb, bagaimana menurut kalian?

Ada juga ulama yang memuji Abdurrahman Abdul Khaliq, apa berarti tidak boleh membicarakannya?
Kalau Turotsi (orang-orang yang ikut atau membela Ihya’ut Turots, pen.) ini berkata, “tidak boleh membicarakan kejelekan Ihya’ut Turots karena ada ulama yang merekomendasinya”, niscaya akan datang kepadanya seorang Sururi menghujatnya dengan berkata: “Kalau begitu tidak boleh pula membicarakan kejelekan syaikh Salman Al-Audah dan Safar Hawali karena ada juga ulama yang merekomendasikannya” -dia membawakan rekomendasi tertulis dari sebagian ulama-. Maka bagaimana menjawab alasan ini? 

Turotsi ini tidak akan mempunyai jawaban kecuali dengan berkata bahwa yang menjadi ibrah adalah kenyataan yang ada dan bahwasanya rekomendasi-rekomendasi itu tidak berguna kalau kenyataannya menyelisihi jalan Ahlussunnah, bahkan menyelisihi prinsip imam dan ‘alim yang merekomendasikannya.

Apabila dia terus berpegang dengan pendapat bahwa rekomendasi bisa mencegah untuk membicarakan seseorang, berarti kita nyatakan bahwa rekomendasi juga bisa mencegah untuk membicarakan Abdurrahman, Sayyid Quthb, Salman (al Audah, pen.), dan selain mereka dari kalangan Sururiyyin, Quthbiyyin, Takfiriyyin dan qiyaskanlah ke yang lainnya!

Penutup
Dengan ini jelaslah bahwa adanya perselisihan pada suatu masalah tidak memberi pengertian bahwa kebenaran tidak jelas pada masalah itu dan tidak pula menyebabkan kita tidak bersikap.

Janganlah ada yang menduga bahwa masalah ini adalah ijtihadiyyah karena telah nyata bukti-bukti yang menunjukkan kesesatan yayasan ini dan penyimpangannya dari jalan Ahlussunnah. Ini bukanlah masalah ijtihadiyyah yang setiap orang boleh berkata dengan pendapatnya dan orang yang menyelisihinya dilarang untuk menentangnya. Tidak! Masalah ini adalah masalah yang jelas yang menyelisihi Ahlussunnah dan kita harus berhati-hati dari mereka.

Pada hakekatnya yang memecah-belah bukanlah Ahlussunnah karena Salafiyyin adalah orang-orang yang paling bersemangat untuk tegaknya persatuan. Mereka datang seraya berkata: “Dengan tahdzir kalian terhadap Ihya’ut Turots, Salman, Quthbiyyin, dan Ikhwanul muslimin, semua itu telah menjadi sebab terpecah belahnya umat.”

Sungguh perkataan itu tidak benar karena Ahlussunnah adalah orang-orang yang sangat bersemangat untuk persatuan. Persatuan di atas Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih dan bukan persatuan ala Hasan Al Banna dan yang semisalnya dengan semboyan: “Kita bersatu di atas apa yang telah kita sepakati dan kita saling toleransi pada apa yang tidak kita sepakati”, tetapi kita bersatu di atas sunnah.

Termasuk faktor utama terwujudnya persatuan adalah memutuskan sebab-sebab perpecahan. Dan termasuk dari sebab munculnya perpecahan adalah penyimpangan, kebid’ahan dan fanatisme golongan. Dan semua ini termasuk dari sebab munculnya perpecahan. Dengan ini barangsiapa yang datang kepada kita dengan fanatisme golongan, maka dialah yang menyebabkan perpecahan dan memecah belah Salafiyyin. Sedangkan tahdzir dari Salafiyyin dalam hal ini hukumnya wajib!! Bahkan, tahdzir adalah termasuk sebab bersatunya manusia di atas kebenaran.

Dan termasuk sebab terbentuknya persatuan adalah dengan mentahdzir orang-orang yang meyimpang dan mentahdzir ahlul bid’ah. Oleh karena itu, Ahlussunnah sepakat untuk mentahdzir ahlul bid’ah karena engkau tidak akan mampu mempersatukan manusia di atas kebaikan kecuali engkau telah memisahkan antara yang haq dan yang bathil. Di dalam hadits telah disebutkan bahwa di antara sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memecah belah di antara manusia. Maksudnya adalah beliau memisahkan antara yang haq dan yang bathil.

“Katakanlah, telah datang kebenaran dan telah sirna kebatilan, sungguh kebatilan pasti akan sirna” {Al-Israa’:81}.

Kebatilan dan kebenaran tidak akan mungkin bersatu. Jika bersatu berarti menunjukkan orang tersebut tidak berada di atas jalan Ahlussunnah, yaitu jalannya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam. Salaf selalu membedakan antara haq dan batil dengan cara memperingatkan umat dari yang batil sehingga kebatilan tidak lagi mampu menyesatkan dan menjauhkan manusia dari jalan Salafus Shalih dan dari jalan kebenaran.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis lurus kemudian membuat garis lain di kanan dan kirinya seraya berkata: “Setiap jalan ini ada syaithan yang menyeru kepadanya”. Kalau begitu di sana ada banyak jalan yang padanya syaithan menjauhkan manusia dari jalan Ahlussunnah dan memecah belah manusia. Dengan ini apakah aku harus diam atau mentahdzir umat dari jalan-jalan itu? Adalah wajib bagiku untuk mentahdzir umat dari jalan-jalan itu agar manusia tidak akan masuk dan menuju kepada jalan-jalan itu jika kita memperingatkan umat darinya.

Adapun kalau kita diam, niscaya akan terbentuklah jalan-jalan itu dan manusia akan berpecah belah, setiap hari berkelompok-kelompok. Sedangkan kewajiban kita semua adalah berada pada satu barisan dan memperingatkan umat dari Ahlul Bid’ah. Dan temasuk dari sebab persatuan adalah memperingatkan umat akan bahayanya Ahlul Bid’ah.

(Dikutip dari terjemahan al Ustadz Faishal Jamil Al Maidani dari muhadharah Syaikh Abu Abdillah Khalid Adh Dhahawi Al Kuwaiti pada tanggal 2 September 2006 atau 8 Sya'ban 1427 H di Mahad Al Anshar, Sleman. Beliau adalah da'i yang tinggal di Kuwait, alumnus Jami'ah Islamiyyah Madinah, webmaster situs Asy Syaikh Rabi ibn Haadi www.Rabee.net) 

Sumber : Salafy.or.id