Bukti Kemenangan Islam

"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu KEMENANGAN YANG GEMILANG." [QS. AL FATH : 1]

Bukti Kemenangan Islam

"Supaya Allah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan memimpinmu ke jalan yang lurus.Dan supaya Allah menolongmu berupa kekuatan yang tangguh." [QS. AL FATH : 2-3]

Bukti Kemenangan Islam

"Kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi. Dan Allah, adalah Maha Perkasa dan Bijaksana." [QS. AL FATH : 7]

Bukti Kemenangan Islam

"Sesungguhnya Kami mengutus kamu (Muhammad) sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kalian beriman kepada Allah dan RasulNya, memperkukuh AgamaNya, membesarkanNya, dan bertasbih kepadaNya siang dan malam." [QS. AL FATH : 8-9]

Bukti Kemenangan Islam

"Barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya, maka Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu neraka yang bernyala-nyala." [QS. AL FATH : 13]

Bukti Kemenangan Islam

"Dan kepunyaan Allah kekuasaan mutlak di langit dan di bumi. Dia mengampuni orang-orang yang dikendakiNya, dan menyiksa orang-orang yang dikendakiNya pula. Allah adalah Maha Pengampun dan Penyayang." [QS. AL FATH : 14]

Bukti Kemenangan Islam

"Sesungguhnya Allah telah meridhai orang-orang yang beriman, ketika mereka ber-janji-setia denganmu (Muhammad) di bawah pohon kayu. Tuhan telah mengetahui isi hatinya, dan menurunkan ketenteraman kepadanya. Lalu memberi pembalasan dengan kemenangan yang sudah dekat waktunya." [QS. AL FATH : 18]

Bukti Kemenangan Islam

"Dan Tuhan telah menjadikan pula kemenangan-kemenangan yang lain atas negeri-negeri yang belum kamu kuasai, yang oleh Allah telah dipeliharaNya untukmu. Dan Allah, adalah Maha Kuasa atas segala-galanya." [QS. AL FATH : 21]

Bukti Kemenangan Islam

"Kalau orang-orang yang kafir itu berani memerangimu, pastilah mereka kalah (hancur) lari kocar - kacir, lalu mereka tidak memperoleh perlindungan dan pertolongan." [QS. AL FATH : 22]

Bukti Kemenangan Islam

"Begitulah sunnatullah (Ketentuan Allah), yang telah berlaku sejak dahulu. Dan kamu sekali-kali tidak akan menemui perubahan pada sunatullah itu." [QS. AL FATH : 23]

Bukti Kemenangan Islam

"Ketika orang-orang kafir itu timbul perasaan sentimen dalam hatinya, yaitu sentimen jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenteraman hati kepada Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, dan memantapkan kepadanya kalimat taqwa. Mereka lebih berhak dengan itu dan patut memilikinya. Allah Maha Mengetahui segala-galanya." [QS. AL FATH : 26]

Bukti Kemenangan Islam

"Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan nyata, yaitu bahwa sungguh kamu PASTI AKAN MEMASUKI MASJIDIL HARAM, insya Allah DALAM KEADAAN AMAN. Ada di antaramu yang mencukur rambut kepala dan ada pula yang hanya mengguntingnya saja, TANPA PERASAAN TAKUT." [QS. AL FATH : 27]

Bukti Kemenangan Islam

"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi." [QS. AL FATH : 28]

Bukti Kemenangan Islam

"Muhammad itu, adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengan dia, bersikap keras-tegas terhadap orang-orang kafir. Sebaliknya berkasih sayang di antara sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya. Tanda-tandanya kelihatan pada bekas-bekas sujud di mukanya. Demikianlah sifat-sifat mereka yang diungkapkan di dalam Taurat dan Injil." [QS. AL FATH : 28]

Bukti Kemenangan Islam

"Allah berkendak untuk menjengkelkan hati orang-orang kafir dengan menunjukkan kekuatan orang-orang mukmin. Allah telah menjanjikan ampunan dan pahala yang besar bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh di antara mereka." [QS. AL FATH : 28]

Wednesday, December 1, 2010

Mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Menjauhi Bid’ah

Penulis: Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc.


إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Marilah kita senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu dengan mempelajari dan mengamalkan serta berpegang teguh di atas syariat-Nya. Karena di dalamnya ada cahaya dan petunjuk yang demikian mencukupi untuk membimbing dan mengatur seluruh sisi kehidupan kita. Mulai dari urusan rumah tangga hingga ketatanegaraan. Sehingga selama seseorang itu mengikuti petunjuk dan aturan-Nya pasti dia akan selamat di dunia dan akhirat. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji bagi orang yang mengikuti petunjuk-Nya di dalam firman-Nya:

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى

“Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya ia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.” (Thaha: 123)

Maka barangsiapa yang tidak merasa cukup dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga menyelisihinya, pasti dia akan rugi dan celaka. Meskipun orang melihatnya hidup dengan penuh kemewahan dan serba ada. Namun sesungguhnya dia tidak merasakan kelapangan dan ketenangan di dalam jiwanya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam bagi orang-orang yang menyelisihi petunjuk-Nya di dalam firman-Nya:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha: 124)

Hadirin rahimakumullah

Seorang muslim yang hakiki tidak akan ridha untuk meninggalkan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meskipun ditawarkan kepadanya dunia seisinya. Dia akan tetap berpegang teguh di atas syariat-Nya meskipun cobaan dan ujian menimpa dirinya. Karena dia mengetahui bahwa kehidupan yang sesungguhnya bukanlah di dunia dan apa yang dimilikinya berupa kenikmatan dunia baik berupa harta, kedudukan, dan yang semisalnya, pasti akan sirna. Sehingga yang senantiasa diinginkan oleh dirinya adalah meraih kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diampuni seluruh dosanya serta mendapatkan hidayah dan curahan rahmat-Nya. Oleh karena itu, dia berusaha untuk mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan menaatinya dan tidak menyelisihinya. Karena itulah satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar dirinya dicintai dan dirahmati serta diberi hidayah oleh Yang Maha Kuasa. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِيْنَ

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir’.” (Ali ‘Imran: 31-32)

Maka di dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa menaati Rasul-Nya adalah konsekuensi dan bukti dari cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sementara menyelisihinya adalah tanda kekufuran dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitakan di dalam Al-Qur`an bahwa barangsiapa menaati Rasul-Nya akan memperoleh hidayah-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

وَإِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوا

“Dan jika kalian menaatinya, niscaya kalian akan mendapat hidayah/petunjuk.” (An-Nur: 54)

Begitupula Allah Subhanahu wa Ta'ala beritakan bahwa taat kepada Rasul adalah sebab yang akan mengantarkan kita untuk mendapatkan rahmat-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

وَأَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kalian diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Oleh karena itu, seorang muslim akan mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akan meninggalkan seluruh ajaran yang menyimpang dari ajarannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia tidak akan terburu-buru dalam meyakini dan mengamalkan suatu ajaran dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik yang berupa ucapan maupun amalan anggota badan. Akan tetapi dia akan menimbang terlebih dahulu seluruh ucapan dan amalan ibadahnya dengan amalan dan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila sesuai maka diterima, namun apabila bertentangan maka dia akan menolak, dari manapun datangnya. Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada syariatnya dari kami maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu mengatakan:

لَقَدْ أَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنْ تَبَيَّنَ لَهُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَجُوْزُ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

“Para ulama telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh baginya untuk meninggalkannya karena ucapan siapapun.”

Hadirin rahimakumullah,

Ketahuilah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya agar jangan sampai terjatuh pada perbuatan bid’ah, yaitu mengada-adakan amalan ibadah baru yang tidak ada syariatnya. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Hati-hatilah kalian dari terjatuh kepada amalan-amalan ibadah baru yang diada-adakan, karena setiap amalan tersebut adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)

Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa perbuatan mengada-adakan amalan ibadah baru yang tidak ada syariatnya adalah sejelek-jelek amalan. Sebagaimana tersebut dalam haditsnya:

وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا

“Dan sejelek-jelek amalan adalah amalan ibadah yang diada-adakan (yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin).” (HR. Muslim)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Para ulama telah menjelaskan di dalam kitab-kitab mereka tentang maksud dari amalan bid’ah. Di antaranya disebutkan bahwa bid’ah adalah aturan yang diada-adakan dalam beragama yang menandingi syariat dan dimaksudkan dengan mengikuti aturan tersebut untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bid’ah itu bermacam-macam jenisnya. Ada yang berupa amalan ibadah baru yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Seperti mengadakan acara perayaaan dan peringatan hari kelahiran atau hari kematian seseorang. Ataupun dengan mengubah tata cara ibadah yang telah disyariatkan. Seperti berdzikir secara berjamaah dengan dipimpin oleh seorang imam setelah selesai dari shalat berjamaah.

Hadirin rahimakumullah,

Seluruh jenis bid’ah dengan berbagai macamnya adalah sesat, sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan Al-Albani rahimahullahu)

Begitu pula dikatakan oleh Abdullah ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang menganggapnya baik.”

Maka tidak benar kalau dikatakan ada bid’ah yang baik atau hasanah. Akan tetapi yang ada adalah sunnah yang hasanah, bukan bid’ah hasanah. Yaitu melakukan amal ibadah yang disyariatkan dan kemudian dicontoh serta diikuti oleh yang lainnya. Adapun mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amal ibadah yang dibuat sendiri atau dibuat oleh gurunya, hal tersebut adalah amalan bid’ah dan tidak ada baiknya sama sekali. Karena seluruh amalan bid’ah adalah keluar dari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun kadar kesesatannya dan kejelekannya berbeda-beda.

Akhirnya, marilah kita senantiasa mengikuti wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpegang teguh di atas jalannya. Begitupula wasiat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berhati-hati terhadap kerusakan yang sangat berbahaya, yaitu bid’ah serta orang-orang yang mengajaknya. Karena hal itu akan menjauhkan kita dari agama yang mulia.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.


Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ أَمَرَنَا بِاتِّبَاعِ صِرَاطِهِ الْمُسْتَقِيْمِ وَنَهَانَا عَنِ اتِّبَاعِ سُبُلِ أَصْحَابِ الْجَحِيْمِ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، الْمَلِكُ الْبَرُّ الرَّحِيْمُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَلَّغَ اْلبَلاَغَ الْمُبِيْنَ، وَقَالَ: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ تَلَقَّوْا عَنْهُ الدِّيْنَ وَبَلَّغُوْهُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Marilah kita berusaha untuk selalu menjaga diri-diri kita dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan bertakwa kepada-Nya. Yaitu dengan senantiasa mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menyelisihinya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan rasul-Nya dengan ancaman yang keras. Sebagaimana hal ini tersebut di dalam firman-Nya:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 50)

Hadirin rahimakumullah,

Ketahuilah bahwa bid’ah adalah bentuk penyelisihan paling besar dari jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah perbuatan syirik. Hal ini karena perbuatan bid’ah akan memecah-belah kaum muslimin serta menyeret pelakunya pada kerusakan agama dan hatinya. Perbuatan bid’ah akan menjadikan hati pelakunya menjadi benci kepada As-Sunnah. Karena, hati tidak akan menerima Sunnah Rasul jika sudah ditempati oleh bid’ah. Oleh karena itu, kita dapati orang yang melakukan atau bergelut dengan bid’ah serta menghidupkannya adalah orang yang jauh dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setan akan menghiasi amalan bid’ah sehingga akan menjadi sangat mudah bagi orang yang tertipu untuk mengamalkannya meskipun harus mengeluarkan banyak biaya dan menyita sebagian besar waktunya. Dan bid’ah akan menyeret pelakunya menjadi orang yang sombong untuk menerima kebenaran. Hal itu karena setiap pelaku bid’ah akan membanggakan dirinya dan menganggap cara serta amalannya adalah yang paling baik.

Hadirin rahimakumullah,

Ketahuilah, bahwa termasuk dari amalan bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin adalah mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban atau yang dikenal dengan istilah Nishfu Sya’ban dengan shalat malam secara berjamaah.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Majmu’: “Shalat yang dikenal dengan istilah shalat Ar-Ragha`ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan ‘Isya pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab dan shalat pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak seratus rakaat, keduanya adalah amalan bid’ah dan mungkar. Janganlah tertipu karena disebutkannya dua jenis shalat ini dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya` ‘Ulumuddin. Dan jangan pula tertipu dengan hadits-hadits yang tersebut di dalam dua kitab tadi. Karena sesungguhnya semua itu batil.”

Berkata pula Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu: “Hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang dha’if. Tidak boleh dijadikan sebagai pegangan. Sementara hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan shalat pada malam Nishfu Sya’ban semuanya adalah hadits palsu, sebagaimana telah diingatkan oleh banyak ulama.”

Maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mengkhususkan serta mengistimewakan pertengahan bulan ini daripada hari-hari lainnya di bulan tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin tidak pernah melakukannya. Begitu pula tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mendukung dan membantu pelaksanaannya. Karena hal itu sama saja dengan menghancurkan agama saudaranya. Bukan berarti tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk shalat malam pada hari tersebut. Akan tetapi mengistimewakan hari dan malam tersebut dari hari-hari lainnya di bulan Sya’ban untuk shalat atau ibadah lainnya bukanlah ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Akhirnya marilah kita senantiasa berhati-hati dari jalan-jalan yang menyimpang dari jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang terbaik di umat ini baik dari kalangan sahabat, tabi'in, dan yang mengikuti mereka adalah satu-satunya jalan yang benar.

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ في كُلِ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ والْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّهُ سَمِيْعٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ ربِّ الْعَالَمِيْنَ.

Sumber:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=543 
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1210

Monday, November 15, 2010

Tatacara Menyembelih Hewan Qurban

Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin

Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum dan adab seputar penyembelihan hewan, baik itu qurban ataupun yang lain.
I. Hewan sembelihan dinyatakan sah dan halal dimakan bila terpenuhi syarat-syarat berikut :
a. Membaca basmalah tatkala hendak menyembelih hewan. Dan ini merupakan syarat yang tidak bisa gugur baik karena sengaja, lupa, ataupun jahil (tidak tahu). Bila dia sengaja atau lupa atau tidak tahu sehingga tidak membaca basmalah ketika menyembelih, maka dianggap tidak sah dan hewan tersebut haram dimakan. Ini adalah pendapat yang rajih dari perbedaan pendapat yang ada. Dasarnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلاَ تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An’am: 121) 

Syarat ini juga berlaku pada penyembelihan hewan qurban. Dasarnya adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari (no. 5565) dan Muslim (no. 1966), bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua kambing kibasy yang berwarna putih bercampur hitam lagi bertanduk:

وَيُسَمِّي وَيُكَبِّرُ

“Beliau membaca basmalah dan bertakbir.”
 
b. Yang menyembelih adalah orang yang berakal. Adapun orang gila tidak sah sembelihannya walaupun membaca basmalah, sebab tidak ada niat dan kehendak pada dirinya, dan dia termasuk yang diangkat pena takdir darinya.
c. Yang menyembelih harus muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nasrani). Untuk muslim, permasalahannya sudah jelas. Adapun ahli kitab, dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَطَعَامُ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ

“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu.” (Al-Ma`idah: 5) 

Dan yang dimaksud ‘makanan’ ahli kitab dalam ayat ini adalah sembelihan mereka, sebagaimana penafsiran sebagian salaf.

Pendapat yang rajih menurut mayoritas ulama, sembelihan ahli kitab dipersyaratkan harus sesuai dengan tata cara Islam.

Sebagian ulama menyatakan, terkhusus hewan qurban, tidak boleh disembelih oleh ahli kitab atau diwakilkan kepada ahli kitab. Sebab qurban adalah amalan ibadah untuk taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak sah kecuali dilakukan oleh seorang muslim. Wallahu a’lam.

d. Terpancarnya darah
Dan ini akan terwujud dengan dua ketentuan:
1. Alatnya tajam, terbuat dari besi atau batu tajam. Tidak boleh dari kuku, tulang, atau gigi. Disyariatkan untuk mengasahnya terlebih dahulu sebelum menyembelih. Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلْ، لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفْرَ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ

“Segala sesuatu yang memancarkan darah dan disebut nama Allah padanya maka makanlah. Tidak boleh dari gigi dan kuku. Adapun gigi, itu adalah tulang. Adapun kuku adalah pisau (alat menyembelih) orang Habasyah.” (HR. Al-Bukhari no. 5498 dan Muslim no. 1968)

Juga perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika hendak menyembelih hewan qurban:

يَا عَائِشَةُ، هَلُمِّي الْمُدْيَةَ. ثُمَّ قَالَ: اشْحَذِيْهَا بِحَجَرٍ

“Wahai ‘Aisyah, ambilkanlah alat sembelih.” Kemudian beliau berkata lagi: “Asahlah alat itu dengan batu.” (HR. Muslim no. 1967)

2. Dengan memutus al-wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan. Inilah persyaratan dan batas minimal yang harus disembelih menurut pendapat yang rajih. Sebab, dengan terputusnya kedua urat tersebut, darah akan terpancar deras dan mempercepat kematian hewan tersebut.

Faedah
Pada bagian leher hewan ada 4 hal:
1-2. Al-Wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan
3. Al-Hulqum yaitu tempat pernafasan.
4. Al-Mari`, yaitu tempat makanan dan minuman.
Rincian hukumnya terkait dengan penyembelihan adalah:
- Bila terputus semua maka itu lebih afdhal.
- Bila terputus al-wadjan dan al-hulqum maka sah.
- Bila terputus al-wadjan dan al-mari` maka sah.
- Bila terputus al-wadjan saja maka sah.
- Bila terputus al-hulqum dan al-mari`, terjadi perbedaan pendapat. Yang rajih adalah tidak sah.
- Bila terputus al-hulqum saja maka tidak sah.
- Bila terputus al-mari` saja maka tidak sah.
- Bila terputus salah satu dari al-wadjan saja, maka tidak sah. (Syarh Bulugh, 6/52-53)

II. Merebahkan hewan tersebut dan meletakkan kaki pada rusuk lehernya, agar hewan tersebut tidak meronta hebat dan juga lebih menenangkannya, serta mempermudah penyembelihan.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, tentang tata cara penyembelihan yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَيَضَعُ رِجْلَهُ عَلىَ صِفَاحِهِمَا

“Dan beliau meletakkan kakinya pada rusuk kedua kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966)

Juga hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:

فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ

“Lalu beliau rebahkan kambing tersebut kemudian menyembelihnya.”

III. Disunnahkan bertakbir ketika hendak menyembelih qurban, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu di atas, dan diucapkan setelah basmalah.

IV. Bila dia mengucapkan:

بِسْمِكَ اللَّهُمَّ أَذْبَحُ

“Dengan nama-Mu ya Allah, aku menyembelih”, maka sah, karena sama dengan basmalah.

V. Bila dia menyebut nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala selain Allah, maka hukumnya dirinci.
a. Bila nama tersebut khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak boleh untuk makhluk, seperti Ar-Rahman, Al-Hayyul Qayyum, Al-Khaliq, Ar-Razzaq, maka sah.
b. Bila nama tersebut juga bisa dipakai oleh makhluk, seperti Al-‘Aziz, Ar-Rahim, Ar-Ra`uf, maka tidak sah.

VI. Tidak disyariatkan bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sebab tidak ada perintah dan contohnya dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/408)

VII. Berwudhu sebelum menyembelih qurban adalah kebid’ahan, sebab tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salaf.
Namun bila hal tersebut terjadi, maka sembelihannya sah dan halal dimakan, selama terpenuhi ketentuan-ketentuan di atas.

VIII. Diperbolehkan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar sembelihannya diterima oleh-Nya. Sebagaimana tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berdoa:

اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“Ya Allah, terimalah (sembelihan ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” (HR. Muslim no. 1967, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)

IX. Tidak diperbolehkan melafadzkan niat, sebab tempatnya di dalam hati menurut kesepakatan ulama. Namun dia boleh mengucapkan:

اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ فُلاَنِ

“Ya Allah, sembelihan ini dari Fulan.”
 
Dan ucapan tersebut tidak termasuk melafadzkan niat.

X. Yang afdhal adalah men-dzabh (menyembelih) sapi dan kambing. Adapun unta maka yang afdhal adalah dengan nahr, yaitu disembelih dalam keadaan berdiri dan terikat tangan unta yang sebelah kiri, lalu ditusuk di bagian wahdah antara pangkal leher dan dada.
Diriwayatkan dari Ziyad bin Jubair, dia berkata: Saya pernah melihat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mendatangi seseorang yang menambatkan untanya untuk disembelih dalam keadaan menderum. Beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata:

ابْعَثْهَا قِيَامًا مُقَيَّدَةً، سُنَّةُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Bangkitkan untamu dalam keadaan berdiri dan terikat, (ini) adalah Sunnah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al-Bukhari no. 1713 dan Muslim no. 1320/358)

Bila terjadi sebaliknya, yakni me-nahr kambing dan sapi serta men-dzabh unta, maka sah dan halal dimakan menurut pendapat jumhur. Sebab tidak keluar dari tempat penyembelihannya.

XI. Tidak disyaratkan menghadapkan hewan ke kiblat, sebab haditsnya mengandung kelemahan.
Dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu ‘Ayyasy Al-Mu’afiri, dia majhul. Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2795) dan Ibnu Majah (no. 3121).

XII. Termasuk kebid’ahan adalah melumuri jidat dengan darah hewan qurban setelah selesai penyembelihan, karena tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para salaf. (Fatwa Al-Lajnah, 11/432-433, no. fatwa 6667)

Hukum-hukum Seputar Qurban
Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum secara umum yang terkait dengan hewan qurban, untuk melengkapi pembahasan sebelumnya:
1) Menurut pendapat yang rajih, hewan qurban dinyatakan resmi (ta’yin) sebagai أُضْحِيَّةٌ dengan dua hal:
a. dengan ucapan: هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ (Hewan ini adalah hewan qurban)
b. dengan tindakan, dan ini dengan dua cara:
1. Taqlid yaitu diikatnya sandal/sepatu hewan, potongan-potongan qirbah (tempat air yang menggantung), pakaian lusuh dan yang semisalnya pada leher hewan. Ini berlaku untuk unta, sapi dan kambing.
2. Isy’ar yaitu disobeknya punuk unta/sapi sehingga darahnya mengalir pada rambutnya. Ini hanya berlaku untuk unta dan sapi saja.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:

فَتَلْتُ قَلاَئِدَ بُدْنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا

“Aku memintal ikatan-ikatan unta-unta Rasulullah dengan kedua tanganku. Lalu beliau isy’ar dan men-taqlid-nya.” (HR. Al-Bukhari no. 1699 dan Muslim no. 1321/362)

Kedua tindakan ini khusus pada hewan hadyu, sedangkan qurban cukup dengan ucapan. Adapun semata-mata membelinya atau hanya meniatkan tanpa adanya lafadz, maka belum dinyatakan (ta’yin) sebagai hewan qurban. Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum bila hewan tersebut telah di-ta’yin sebagai hewan qurban:

2) Diperbolehkan menunggangi hewan tersebut bila diperlukan atau tanpa keperluan, selama tidak memudaratkannya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang menuntun unta (qurban/hadyu) maka beliau bersabda:

ارْكَبْهَا

“Tunggangi unta itu.” (HR. Al-Bukhari no. 1689 dan Muslim no. 1322/3717)

Juga datang dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu (Al-Bukhari no. 1690 dan Muslim no. 1323) dan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma (HR. Muslim no. 1324). Lafadz hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:

ارْكَبْهَا بِالْمَعْرُوْفِ إِذَا أُلْجِئْتَ إِلَيْهَا حَتَّى تَجِدَ ظَهْرًا

“Naikilah unta itu dengan cara yang baik bila engkau membutuhkannya hingga engkau mendapatkan tunggangan (lain).”

3) Diperbolehkan mengambil kemanfaatan dari hewan tersebut sebelum/setelah disembelih selain menungganginya, seperti:
a. mencukur bulu hewan tersebut, bila hal tersebut lebih bermanfaat bagi sang hewan. Misal: bulunya terlalu tebal atau di badannya ada luka.
b. Meminum susunya, dengan ketentuan tidak memudaratkan hewan tersebut dan susu itu kelebihan dari kebutuhan anak sang hewan.
c. Memanfaatkan segala sesuatu yang ada di badan sang hewan, seperti tali kekang dan pelana.
d. Memanfaatkan kulitnya untuk alas duduk atau alas shalat setelah disamak.
Dan berbagai sisi kemanfaatan yang lainnya. Dasarnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (Al-Hajj: 36)

4) Tidak diperbolehkan menjual hewan tersebut atau menghibahkannya kecuali bila ingin menggantinya dengan hewan yang lebih baik. Begitu pula tidak boleh menyedekahkannya kecuali setelah disembelih pada waktunya, lalu menyedekahkan dagingnya.
5) Tidak diperbolehkan menjual kulit hewan tersebut atau apapun yang ada padanya, namun untuk dishadaqahkan atau dimanfaatkan.
6) Tidak diperbolehkan memberikan upah dari hewan tersebut apapun bentuknya kepada tukang sembelih. Namun bila diberi dalam bentuk uang atau sebagian dari hewan tersebut sebagai shadaqah atau hadiah bukan sebagai upah, maka diperbolehkan.

Dalil dari beberapa perkara di atas adalah hadits Ali bin Abi Tahlib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

أَمَرَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُوْمَهَا وَجُلُوْدَهَا وَجِلاَلَهَا عَلَى الْمَسَاكِيْنِ وَلاَ أُعْطِي فِي جَزَارَتِهَا شَيْئًا مِنْهَا

“Nabi memerintahkan aku untuk menangani (penyembelihan) unta-untanya, membagikan dagingnya, kulit, dan perangkatnya kepada orang-orang miskin dan tidak memberikan sesuatu pun darinya sebagai (upah) penyembelihannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1717 dan 1317)

7) Bila terjadi cacat pada hewan tersebut setelah di-ta’yin (diresmikan sebagai hewan qurban) maka dirinci:
- Bila cacatnya membuat hewan tersebut tidak sah, maka disembelih sebagai shadaqah bukan sebagai qurban yang syar’i.
- Bila cacatnya ringan maka tidak ada masalah.
- Bila cacatnya terjadi akibat (perbuatan) sang pemilik maka dia harus mengganti yang semisal atau yang lebih baik
- Bila cacatnya bukan karena kesalahan sang pemilik, maka tidak ada kewajiban mengganti, sebab hukum asal berqurban adalah sunnah.
8) Bila hewan tersebut hilang atau lari dan tidak ditemukan, atau dicuri, maka tidak ada kewajiban apa-apa atas sang pemilik. Kecuali bila hal itu terjadi karena kesalahannya maka dia harus menggantinya.
9) Bila hewan yang lari atau yang hilang tersebut ditemukan, padahal sang pemilik sudah membeli gantinya dan menyembelihnya, maka cukup bagi dia hewan ganti tersebut sebagi qurban. Sedangkan hewan yang ketemu tersebut tidak boleh dijual namun disembelih, sebab hewan tersebut telah di-ta’yin.
10) Bila hewan tersebut mengandung janin, maka cukup bagi dia menyembelih ibunya untuk menghalalkannya dan janinnya. Namun bila hewan tersebut telah melahirkan sebelum disembelih, maka dia sembelih ibu dan janinnya sebagai qurban. Dalilnya adalah hadits:

ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ 
“Sembelihan janin (cukup) dengan sembelihan ibunya.” Hadits ini datang dari banyak sahabat, lihat perinciannya dalam Irwa`ul Ghalil (8/172, no. 2539) dan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya.

11) Adapun bila hewan tersebut belum di-ta’yin maka diperbolehkan baginya untuk menjualnya, menghibahkannya, menyedekahkannya, atau menyembelihnya untuk diambil daging dan lainnya, layaknya hewan biasa.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Hukum-hukum dan Adab-adab Yang Terkait dengan Orang yang Berqurban
1. Syariat berqurban adalah umum, mencakup lelaki, wanita, yang telah berkeluarga, lajang dari kalangan kaum muslimin, karena dalil-dalil yang ada adalah umum.
2. Diperbolehkan berqurban dari harta anak yatim bila secara kebiasaan mereka menghendakinya. Artinya, bila tidak disembelihkan qurban, mereka akan bersedih tidak bisa makan daging qurban sebagaimana anak-anak sebayanya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/427)
3. Diperbolehkan bagi seseorang berhutang untuk berqurban bila dia mampu untuk membayarnya. Sebab berqurban adalah sunnah dan upaya menghidupkan syi’ar Islam. (Syarh Bulugh, 6/84, bagian catatan kaki)
Al-Lajnah Ad-Da`imah juga mempunyai fatwa tentang diperbolehkannya menyembelih qurban walaupun belum dibayar harganya. (Fatawa Al-Lajnah, 11/411 no. fatwa 11698)
4. Dipersyaratkan hewan tersebut adalah miliknya dengan cara membeli atau yang lainnya. Adapun bila hewan tersebut hasil curian atau ghashab lalu dia sembelih sebagai qurbannya, maka tidak sah.

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إلاَّ طَيِّبًا

“Sesungguhnya Allah itu Dzat yang baik tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim no. 1015 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Begitu pula bila dia menyembelih hewan orang lain untuk dirinya, seperti hewan gadaian, maka tidak sah.
5. Bila dia mati setelah men-ta’yin hewan qurbannya, maka hewan tersebut tidak boleh dijual untuk menutupi hutangnya. Namun hewan tersebut tetap disembelih oleh ahli warisnya.
6. Disunnahkan baginya untuk menyembelih qurban dengan tangannya sendiri dan diperbolehkan bagi dia untuk mewakilkannya. Keduanya pernah dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits:

ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ

“Rasulullah menyembelih kedua (kambing tersebut) dengan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966)
Juga hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang telah lewat, di mana beliau diperintah oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menangani unta-untanya.
7. Disyariatkan bagi orang yang berqurban bila telah masuk bulan Dzulhijjah untuk tidak mengambil rambut dan kukunya hingga hewan qurbannya disembelih.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ

“Apabila telah masuk 10 hari pertama (Dzulhijjah) dan salah seorang kalian hendak berqurban, maka janganlah dia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun hingga dia menyembelih qurbannya.” (HR. Muslim no. 1977)

Dalam lafadz lain:

وَلاَ بَشَرَتِهِ

“Tidak pula kulitnya.”

Larangan dalam hadits ini ditujukan kepada pihak yang berqurban, bukan pada hewannya. Sebab mengambil bulu hewan tersebut untuk kemanfaatannya diperbolehkan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Juga, dhamir (kata ganti) هِ pada hadits di atas kembali kepada orang yang hendak berqurban. Larangan dalam hadits ini ditujukan khusus untuk orang yang berqurban. Adapun keluarganya atau pihak yang disertakan, tidak mengapa mengambil kulit, rambut dan kukunya. Sebab, yang disebut dalam hadits ini adalah yang berqurban saja.
- Bila dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya sebelum hewannya disembelih, maka qurbannya sah, namun berdosa bila dia lakukan dengan sengaja. Tetapi bila dia lupa atau tidak sengaja maka tidak mengapa.
- Bila dia baru mampu berqurban di pertengahan 10 hari pertama Dzulhijjah, maka keharaman ini berlaku saat dia niat dan ta’yin qurbannya.
- Orang yang mewakili penyembelihan hewan qurban orang lain, tidak terkena larangan di atas.
- Larangan di atas dikecualikan bila terjadi sesuatu yang mengharuskan dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
8. Disyariatkan untuk memakan sebagian dari hewan qurban tersebut. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَكُلُوا مِنْهَا

“Maka makanlah sebagian darinya.” (Al-Hajj: 28)

Juga tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memakan sebagian dari hewan qurbannya.
9. Diperbolehkan menyimpan daging qurban tersebut walau lebih dari tiga hari. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ ادِّخَارِ لُحُوْمِ اْلأَضَاحِي فَوْقَ ثَلاَثٍ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ

“Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari. (Sekarang) tahanlah (simpanlah) semau kalian.” (HR. Muslim no. 1977 dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu)

10. Disyariatkan untuk menyedekahkan sebagian dari hewan tersebut kepada fakir miskin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيْرَ

“Berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (Al-Hajj: 28)
Juga firman-Nya:

وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ

“Beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36)

Yang dimaksud dengan الْبَائِسَ الْفَقِيْرَ adalah orang faqir yang menjaga kehormatan dirinya tidak mengemis padahal dia sangat butuh. Demikian penjelasan Ikrimah dan Mujahid.
Adapun yang dimaksud dengan الْقَانِعَ adalah orang yang meminta-minta daging qurban. Sedangkan الْمُعْتَرَّ adalah orang yang tidak meminta-minta daging, namun dia mengharapkannya. Demikian penjelasan Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu.
11. Diperbolehkan memberikan sebagian dagingnya kepada orang kaya sebagai hadiah untuk menumbuhkan rasa kasih sayang di kalangan muslimin.
12. Diperbolehkan memberikan sebagian dagingnya kepada orang kafir sebagai hadiah dan upaya melembutkan hati. Sebab qurban adalah seperti shadaqah sunnah yang dapat diberikan kepada orang kafir. Adapun shadaqah wajib seperti zakat, maka tidak boleh diberikan kepada orang kafir.
Dan yang dimaksud dengan kafir disini adalah selain kafir harbi. Al-Lajnah Ad-Da`imah mengeluarkan fatwa tentang hal ini (11/424-425, no. 1997).
13. Diperbolehkan membagikan daging qurban dalam keadaan mentah ataupun masak. Diperbolehkan pula mematahkan tulang hewan tersebut.


Demikian beberapa hukum dan adab terkait dengan qurban yang dapat dipaparkan pada lembar majalah ini, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawab.

Saturday, November 6, 2010

Bombardir atas nama Jihad = Pengikut Setan

Penulis: Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, anggota Hai’ah Kibarul Ulama (Majlis Ulama Besar Saudi Arabia) menegaskan bahwa orang-orang yang menyerukan jihad fi sabilillah dengan cara membunuh diri-diri mereka adalah pelaku bunuh diri (bukan jihad) dan mujahid fi sabilis-syaithan (di jalan syaithan).

Beliau mengatakan bahwa orang-orang yang terjatuh ke dalam fitnah ini tidak bertanya kepada ulama dan tidak belajar kepada mereka melainkan mereka memisahkan diri dari ummat Islam dan berafiliasi kepada pihak-pihak yang mereka adalah thaghut-thaghut dari bangsa manusia yang mencuci otak mereka sehingga tampil dalam bentuk yang berbeda, mengkafirkan kaum muslimin, membunuhi mereka, menghancurkan gedung-gedung, meledakkan dan membunuh anak-anak, orang-orang tua, laki-laki, perempuan, orang Islam, kafir mu’ahad, ahlu dzimmah dan kafir musta’man disebabkan pemikiran sesat ini. Dan ini akibat yang dirasakan oleh orang-orang yang condong kepada pelaku kejahatan dan da’i-da’i yang diceritakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika beliau ditanya tentang fitnah-fitnah akhir zaman, beliau berkata, “(mereka) da’i-da’i kepada pint-pintu jahannam siapasaja yang mengikuti mereka akan dilemparkan ke dalamnya (jahannam).”

Dan inilah realitanya sekarang, benarlah sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, ketika mereka condong kepada da’i-da’i sesat, jadilah mereka dilemparkan ke dalam jahannam. Dan semua pihak geram terhadap mereka dan membenci perbuatan mereka sampai orang-orang kafir, apalagi kaum muslimin, tidak seorangpun senang dengan apa yang mereka buat kecuali orang-orang yang sepaham dengan mereka dan seperti mereka.

Beliau juga menjelaskan bahwa fitnah ini amatlah besar, wajib bagi seorang muslim untuk memiliki bashirah terhadapnya dan tidak tergesa-gesa dan bertanya kepada ulama dan meminta kepada Allah keselamatan dan jangan gampang mempercayai seseorang sebelum mengerti betul hakikat dia yang sesungguhnya dan seberapa jauh keistiqamahan dia di atas al-hak, meskipun menampakkan kebaikan atau rajin ibadah dan memiliki pembelaan terhadap Islam.

Adapun orang yang menampakkan kebaikan dan kebenaran tapi tidak diketahui hakikat sesungguhnya, kita tidak tergesa-gesa memvonisnya sekaligus jangan langsung mempercayainya, sampai kita kenal hakikat sebenarnya, adabnya, kehidupannya. Karena tidaklah terjadi bencana ini melainkan bersumber dari sikap husnuz-zan tanpa landasan ilmu dan tanpa bertanya kepada ulama dan ahlinya. Dari sinilah terjadi bencana-bencana ini sumbernya adalah ketergesa-gesaan dan kebodohan serta hasil dari bergaul dengan orang-orang jahat dan sembarangan mempercayai mereka serta menjauh dari kaum muslimin dan ulama mereka.

Mereka telah menjauh dari belajar melalui sekolah-sekolah dan dari para ulama sehingga terjatuh ke jurang-jurang sebagaimana mereka menjauh dari keluarga dan rumah-rumah mereka.

Maka yang wajib bagi pemuda-pemuda Islam adalah mengambil pelajaran dari kejadian ini karena orang yang bahagia adalah yang mengambil pelajaran dari peristiwa yang menimpa orang lain.

Sebagaimana wajib bagi kita mengambil dari kejadian ini ibrah bagi kita dan tetap bergabung dengan jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka dan tidak nyempal dari mereka kepada kelompok-kelompok yang bermacam-macam.

Sumber: Harian Al-‘Ukkadz, sahab.net

(Dikutip dari http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=393)

Saturday, October 30, 2010

Mengapa Harus Bermanhaj Salaf ?

Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf. Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).

Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafy atau As Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21).

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).

Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah telah berwasiat kepada kita:

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)

Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut: 

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : 

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin, 1/72).

Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya. Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: 

“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin disini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Ta'ala.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.

Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: 

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367). Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ 

Artinya : "Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu)." [QS Al Baqoroh: 137]

Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut: 

1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:  

“Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455). 

Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya. 

Al Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka  atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al I’tisham, 1/118).

2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : 

“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37). 

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: 

“…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: golongan yang aku dan para sahabatku mengikuti.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil–red) dalam perselisihan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara: - Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam. - Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan. - Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79). 

Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.

Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena: 
1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus. 
2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam. 
3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya. 
4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. 
5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 
6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika: 
  • Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun banyak orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63). 
  • Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil dari kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54). 
  • Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88). 
  • Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil dari kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88) 
  • Al-Imam As Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57). 
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149). Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155).

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawaab.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari, Lc, judul asli Mengapa Harus Bermanhaj Salaf, rubrik Manhaji, Majalah Asy Syariah.)

Sumber : Majalah Asysyariah dan Salafy.or.id

Thursday, October 28, 2010

Ngalap Berkah ala Jahiliyyah

Ngalap berkah alias mencari berkah ( التَّبَرُّكُ ) merupakan ibadah yang harus didasari keikhlasan dan ilmu, sebab sebagian orang salah dalam memahami makna ngalap berkah. Mestinya seseorang mencari berkah dari Allah -Ta’ala-, tapi mereka mencari berkah pada makhluk, dan tempat-tempat yang tidak dibenarkan oleh Allah -Azza wa Jalla-.

Realita ngalap berkah yang salah dan batil seperti ini, amat banyak kita temukan di bawah kolong langit. Tidak usah jauh melihat, lirik saja pemandangan aneh di Solo dengan adanya sekelompok manusia yang ngalap berkah (mencari berkah) dari seekor kerbau bernama "Kiyai Slamet". Sedihnya, mereka berebutan kotoran si kerbau dengan anggapan bahwa kotoran itu memiliki berkah yang bisa mendatang kebaikan dan menolak bala’. Na’udzu billah minasy syirki wa ahlihi.

Toleh saja kepada sekelompok manusia yang mengaku muslim saat mereka mendatangi kuburan orang-orang yang dianggap sholeh alias wali-wali, seperti kuburan Wali Songo, kuburan Syaikh Yusuf (Gowa, Sulsel). Mereka mendatangi kuburan-kuburan itu dengan meyakini bahwa penghuni kuburan memiliki berkah yang layak dicari dan diminta dari mereka. Demi mendapatkan berkah ini, disana mereka melakukan berbagai macam ritual ibadah yang tak pernah Allah perintahkan untuk dilakukan, seperti menyirami kuburan "wali-wali" tersebut dengan wewangian bercampur air, menabur bunga di atasnya, mengusap nisannya, membaca Al-Qur’an dan lainnya, melaksanakan sholat sunnah, bernadzar, menyembelih hewan ternak, berdoa di sisinya, dan banyak lagi macam ibadah dilakukan disana. Semua ini mereka lakukan sebagai bentuk ngalap berkah ( التَّبَرُّكُ ) dari selain Allah -Ta’ala-. Allah tak pernah memerintahkan hal tersebut, sebab itu adalah kesyirikan yang dahulu dilakoni oleh kaum Quraisy.


Para pembaca yang budiman, BERKAH ( الْبَرَكَةُ ), bila ditilik maknanya, maka ia berarti banyaknya, tetapnya, dan kontinyunya sesuatu yang memiliki kebaikan. Dengan kata lain, berkah itu adalah kebaikan yang banyak dan kontinyu pada sesuatu. [Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 160) oleh Syaikh Sholih bin Abdil Aziz At-Tamimiy, dan Tahdzib Al-Lughoh (3/373)]


Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menerangkan bahwa berkah hanyalah berasal dari Allah -Azza wa Jalla-. Dialah yang berhak memberikan berkah kepada sesuatu, bukan makhluk !!! Allah -Azza wa Jalla- berfirman,


"Maha Berkah Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam".(QS. Al-Furqon : 1)


Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman tentang Nabi Ibrahim,:


"Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan diantara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata".(QS. Ash-Shooffat : 113)


Allah Robbul alamin berfirman,


"Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup". (QS. Maryam : 31)


Tiga ayat di atas adalah dalil qoth’iy yang menunjukkan bahwa yang memberikan berkah (kebaikan yang banyak) kepada makhluk, hanyalah Allah -AzzawaJalla-, bukan makhluk. Ayat-ayat mulia ini merupakan bantahan keras atas para kiyai dan anre guru (sebutan kiyai di Sulsel) yang mengajarkan kepada para muridnya untuk mencari berkah dari sang kiyai saat mereka berjabat tangan dengan si kiyai atau menyentuh badannya.


Ketahuilah bahwa seseorang tak boleh menetapkan adanya berkah pada sesuatu, kecuali berdasarkan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Adapun kiyai, maka tak ada dalil yang menunjukkan adanya berkah pada tangan dan tubuh mereka. Jika ada yang menetapkannya pada si kiyai, maka ia adalah seorang pendusta lagi menyalahi petunjuk wahyu.


Ngalap berkah dari sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dibolehkan oleh Allah merupakan kebiasaan kaum musyrikin pada berhala-berhala mereka. Kaum musyrikin dahulu, mereka mencari berkah pada Laata, Uzza, Manaat, dan lainnya.


Allah -Ta’ala- berfirman menyinggung sembahan-sembahan batil yang biasa diharapkan berkahnya oleh orang-orang Quraisy,


"Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Laata dan Uzza, serta Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka". (QS. An-Najm : 19-23)


Tahukah kalian siapakah ketiga sembahan-sembahan batil ini??! Silakan dengar jawabannya dari pemaparan Al-Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- dalam Tafsir-nya, "Laata adalah sebuah batu putih yang terukir. Di atasnya terdapat sebuah rumah (bangunan) yang memiliki kelambu dan penjaga (security). Di sekitarnya terdapat pekarangan yang diagungkan oleh penduduk Tha’if, yaitu suku Tsaqif, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Mereka membangga-banggakan Laata atas suku lain di antara suku-suku Arab setelah Quraisy". [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (7/455)]


Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa Laata adalah kuburan seorang laki-laki yang dahulu menumbuk gandum untuk para jama’ah haji di zaman jahiliyah. Ibnu Abbas -radhiyallahuanhuma- berkata,

كَانَ يَلُتّ السَّوِيق عَلَى الْحَجَر فَلَا يَشْرَب مِنْهُ أَحَد إِلَّا سَمِنَ ، فَعَبَدُوهُ

"Laata adalah seorang laki-laki yang biasa menumbuk gandum di atas batu. Tak ada seorang pun yang minum darinya, kecuali ia akan menjadi gemuk. Akhirnya, merekapun menyembah Laata". [HR. Ibnu Abi Hatim sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bari (8/612)]


Dua pendapat ini tidaklah bertentangan, sebab orang yang menyatakan bahwa Laata adalah sebuah batu putih tidaklah menyelisihi orang yang menyatakan Laata adalah kubur atau penghuninya. Boleh jadi, batu itu adalah batu nisan yang diletakkan di atas kubur sehingga jika seseorang mengagungkan batu itu, maka secara tak langsung ia telah mengagungkan penghuninya. [Lihat Taisir Al-Aziz Al-Hamid (hal. 137) oleh Syaikh Sulaiman bin Abdillah At-Tamimiy, cet. Alam Al-Kutub, dengan tahqiq Muhammad Aiman bin Abdillah As-Salafiy, 1419 H]


Sedang Manat adalah sebuah arca milik suku Hudzail dan Khuza’ah di daerah Qudaid yang terletak antara Makkah dan Madinah [Lihat An-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits (4/808) oleh Ibnul Al-Atsir]


Adapun Uzza, kata Ibnu Jarir -rahimahullah-, "Uzza adalah sebuah pohon. Di atasnya terdapat bangunan dan kelambu yang terletak di daerah Nakhlah antara Makkah, dan Tha’if . Dahulu orang-orang Quraisy mengagungkannya". [Lihat Jami' Al-Bayan fi Tafsir Ayil Qur'an ()]


Pohon sembahan inilah yang telah ditebas oleh Panglima Islam, Kholid bin Al-Walid atas perintah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,

Dari Abu Ath-Thufail, ia berkata,

لمَاَّ فَتَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ بَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ إِلَى نَخْلَةَ وَكَانَتْ بِهَا الْعُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ وَكَانَتْ عَلَى ثَلاَثِ سَمُرَاتٍ, فَقَطَعَ السَّمُرَاتِ وَهَدَمَ الْبَيْتَ الَّذِيْ كَانَ عَلَيْهَا, ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ, فَقَالَ: اِرْجِعْ فَإِنَّكَ لَمْ تَصْنَعْ شَيْئًا, فَرَجَعَ خَالِدٌ, فَلَمَّا أَبْصَرَتْ بِهِ السَّدَنَةُ وَهُمْ حَجَبَتُهَا أَمْعَنُوْا فِي الْجَبَلِ وَهُمْ يَقُوْلُوْنَ: يَا عُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ, فَإِذَا هِيَ امْرَأَةٌ عُرْيَانَةٌ نَاشِرَةٌ شَعْرَهَا تَحْتَفِنُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهَا, فَعَمَّمَهَا بِالسَّيْفِ حَتَّى قَتَلَهَا, ثُمَّ رَجَعَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: تِلْكَ الْعُزَّى

"Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah merebut kota Makkah, maka beliau mengutus Kholid bin Al-Walid ke daerah Nakhlah, sedang di sana terdapat Uzza. Kholid pun mendatanginya, dan Uzza berupa tiga pohon berduri. Kemudian Kholid menebas pohon-pohon tersebut, dan merobohkan bangunan yang terdapat di atasnya. Lalu ia mendatangi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu kepada beliau. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, "Kembalilah, karena engkau belum berbuat apa-apa". Kholid pun kembali. Tatkala ia dilihat para security (para penjaga) Uzza, maka mereka mengintai di atas gunung seraya mereka berkata, "Wahai Uzza". Kemudian Kholid mendatangi Uzza, tiba-tiba ada seorang wanita telanjang yang mengurai rambutnya sambil menaburkan debu di atas kepalanya. Akhirnya Kholid menebas wanita itu dengan pedang sehingga ia membunuhnya. Beliaupun kembali ke Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, "Itulah Uzza". [HR. An-Nasa'iy dalam As-Sunan Al-Kubro (6/474/no. 11547), dan Abu Ya'laa Al-Maushiliy dalam Al-Musnad (no. 902). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Ali bin Sinan dalam Takhrij Fath Al-Majid (no. 103)]


Hadits ini merupakan dalil bahwa jika ada sebuah pohon yang dikeramatkan, disembah, dan diharapkan berkah atau kebaikannya, maka diwajibkan bagi penguasa muslim untuk menebangnya demi menutup pintu kesyirikan. Karena mengagungkan suatu pohon dan mengkeramatkannya sehingga diharapkan berkahnya merupakan kebiasaan jahiliyyah yang telah lama dilakukan orang-orang Yahudi, dan kaum paganisme alias penyembah berhala.


Inilah yang pernah diceritakan oleh Abu Waqid Al-Laitsiy -radhiyallahu anhu-,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا خَرَجَ إِلَى حُنَيْنٍ مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

"Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- keluar menuju Hunain, maka beliau melewati sebuah pohon milik kaum musyrikin yang disebut dengan "Dzatu Anwath (Yang memiliki gantungan)". Mereka menggantungkan padanya senjata-senjata mereka. Mereka pun berkata, "Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath". Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, "Subhanallah, Ini bagaikan sesuatu yang pernah diucapkan kaumnya Musa, "Buatlah untuk kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". (QS. Al-A’raaf : 138) "Demi (Allah)Yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian akan benar-benar mengikuti jalan hidupnya orang-orang sebelum kalian". [HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (2180), Ahmad dalam Al-Musnad (5/218), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah (hal. 202)]


Seorang ulama Andalusia, Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Al-Fihriy (wft 530 H) yang dikenal dengan "Ath-Thurthusiy" -rahimahullah- berkata saat mengomentari hadits di atas, "Perhatikanlah –semoga Allah merahmati kalian-, dimanapun kalian temukan sebuah pohon bidara atau pohon apa saja yang didatangi oleh manusia, dan mereka mengagungkan keberadaan pohon itu, mengharapkan kesembuhan darinya, mereka menggantungkan padanya paku-paku dan kain-kain, maka pohon itu adalah Dzatu Anwath. Karena itu, tebanglah pohon itu". [Lihat Kitab Al-Hawadits wa Al-Bida' (hal. 38-39) oleh Ath-Thurthusiy, dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Halabiy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1419 H]


Syaikhul Islam Ahmad Ibnu Abdil Halim An-Numairiy -rahimahullah- berkata, "Barangsiapa yang mendatangi suatu tempat sedang ia mengharapkan kebaikannya dengan mendatanginya, tapi syari’at tidak menganjurkannya hal itu, maka hal itu termasuk kemungkaran. Sebagiannya lebih parah dari yang lainnya, sama saja apakah tempat itu berupa pohon atau mata air, saluran air, gunung, atau gua; sama saja apakah ia mendatanginya untuk sholat di sisinya, berdoa di sisinya, atau membaca Al-Qur’an di sisinya, berdzikir kepada Allah di sisinya, beribadah (tirakatan) di sisinya, dimana ia telah mengkhususkan tempat itu dengan sejenis ibadah yang tempat itu tak pernah disyari’atkan untuk dikhususkan dengan suatu ibadah, baik tempat itu sendiri atau sejenisnya". [Lihat Iqtidho Ash-Shiroth Al-Mustaqim (2/118)]


Jadi, mendatangi suatu tempat, baik itu berupa pohon, kuburan, bangunan, dan lainnya dengan niat mencari berkah dan kebaikan merupakan kebiasaan jahiliyah yang harus ditinggalkan seorang muslim, yakni seorang muslim yang mau menapaki jalan dan petunjuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya.


Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 128 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)



Tuesday, October 19, 2010

Nasihat Al 'Allamah Rabi' ibn Haadi al Madkhali kepada Salafiyyin di Indonesia

Penulis: Al 'Allamah Al Muhaddits Rabi' ibn Hadi al Madkhali

Nasihat Al 'Allamah Rabi' ibn Haadi al Madkhali kepada anak-anak beliau, Salafiyyin di Indonesia

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه:


Amma ba’du:
Sesungguhnya aku menasehati diriku dan saudara-saudaraku salafiyyin dimana saja dan kepada seluruh kaum muslimin untuk bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, serta ikhlas dalam ucapan dan amalan, dalam perkara al-wala’ wal bara’ dan pada setiap perkara agama dan dunia. Aku menasehati mereka agar berpegang teguh dengan tali Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam aqidah mereka, manhaj, akhlaq dan seluruh urusan dalam kehidupan.

Yang ketiga: "Aku memberi wasiat kepada mereka untuk membangun persaudaraan karena Allah diantara mereka, saling mengasihi dan menyayangi, sehingga mereka seperti satu tubuh, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam :
( مثل المؤمنين في تراحمهم وتوادهم كالجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى )

[Artinya] : “Permisalan kaum mukminin dalam berkasih-sayang dan saling mencintai, bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh merasa demam dan tidak bisa tidur”

Ini merupakan perkara yang dituntut semaksimal mungkin, terkhusus pada hari-hari yang penuh dengan fitnah dan cobaan, merupakan keharusan untuk saling bersaudara dan mempererat persaudaraan tersebut. Serta mengedepankan akal dalam setiap perkara, dan menjauhkan diri dari menggunakan perasaan secara membabi-buta dan sikap fanatisme. Hendaknya mereka menjadi orang yang berakal, cerdik dan pandai, dan jangan sampai setan menggiring mereka :

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا

[Artinya] : Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” [QS. Al-Isra’: 53]
وَلاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ ﴿۳٤﴾ وَمَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

[Artinya] : “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” [QS Fushsilat: 34-35]

Ini nasehatku untuk diriku dan saudara-saudaraku, aku wasiatkan mereka untuk menjauhi sebab-sebab perpecahan, semua perkara yang mengantarkan kepada perpecahan, saling menjauhi, saling memalingkan diri dan memutuskan persaudaraan, maka wajib menjauhkan diri darinya.

Kita mengaku bahwa kita adalah Salafy dan kita beramal dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Kita mengaku menyeru untuk menyatukan kalimat kaum muslimin di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, namun ternyata kebanyakan dari kita – dan sangat disayangkan sekali - berjalan kesana kemari, dalam keadaan dia tidak peduli dengan perpecahan yang terjadi dan munculnya berbagai problem, saling hasad dan saling membenci. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar diselamatkan darinya.

Aku menasehati saudara-saudaraku di Indonesia, dan aku menasehati saudaraku di Yaman serta aku menasehati saudara-saudaraku salafiyyin di setiap tempat, agar hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam dakwah ini. Serta mempererat persaudaraan diantara mereka, hendaknya mereka saling bersaudara, saling menasehati dengan cara hikmah dan nasehat yang baik dan menjauhi kedengkian, kebencian, popularitas dan yang semisalnya.

Aku menasehati setiap setiap pihak dimana saja terhadap perkara-perkara ini yang telah diwajibkan atas kita, bukan hanya merupakan perkara anjuran, namun Allah Subhanahu wa Ta'ala yang mewajibkannya dalam rangka untuk memelihara agama ini, memelihara aqidah, memelihara persatuan yang baik ini dari perselisihan dan perpecahan.

Kalian mengetahui bahwa musuh-musuh (dakwah Salafiyyah, pen) seluruhnya mengarahkan anak panahnya kepada dakwah Salafiyyah. Wajib atas kita sekalian untuk saling mengasihi, menyayangi, saling bahu-membahu dan berdiri di atas satu barisan untuk mengangkat bendera Islam, bendera Tauhid dan bendera Sunnah.

Kita membelanya dengan dalil, petunjuk, hujjah dan penjelasan. Jika kita saling bersaudara dan mempererat tali persaudaraan, maka manusia akan bersatu terhadap apa yang kita ucapkan dan mereka akan menerima dakwah kita.

Namun jika mereka melihat bahwa kita adalah orang yang paling suka berpecah, mereka akan lari dari kita, mereka akan mengatakan: jika sekiranya mereka berada di atas kebenaran, tentu perpecahan ini tidak akan terjadi diantara mereka, dan tidak akan terjadi perselisihan ini diantara mereka:

رَبَّنَا لاَ تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

[Artinya] : "Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami wahai Rabb kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [QS Al-Mumtahanah: 5]


Ini adalah fitnah –semoga Allah memberkati kalian-, Ibrahim 'alaihis salam dan yang bersamanya berlindung diri darinya, mereka berlindung diri dari menjadi fitnah bagi orang-orang kafir. Maka janganlah kalian –wahai salafiyyin dimana saja- menjadi fitnah bagi orang-orang kafir, bagi ahli bid’ah dan hawa nafsu.

Sebab perpecahan kalian - demi Allah - merupakan fitnah, - demi Allah - musuh-musuh akan bergembira, dan akan membuat mereka lancang terhadap dakwah ini, dan akan mencercanya dan mencerca Salafus Saleh. Kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menyatukan hati-hati kita, dan memberikan kepada kita semua telinga yang mendengar, hati yang berakal, yang senantiasa tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menjauhi sebab-sebab perpecahan dan perselisihan.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


(Transkrip dari kaset nasehat asy Syaikh Rabi’ ibn Hadi al Madkhali melalui telepon untuk salafiyyin di Indonesia dan yang lainnya, diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)

Berikut ini transkrip naskahnya dalam bahasa Arab:
نصيحة من العلامة ربيع المدخلي لأبنائه السلفيين في أندونيسيا
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن ابتع هداه:
أما بعد: فإنّني أنصح نفسي وإخواني السلفيين في كل مكان بل وسائر المسلمين بتقوى الله وتبارك وتعالى والإخلاص في القول والعمل، وفي الولاء والبراء، وفي كل شئون الدين والدنيا، وأوصيهم بالاعتصام بحبل الله عز وجل في عقائدهم وعباداتهم ومنهاجهم وأخلاقهم وفي سائر شئون الحياة، ثالثاً أوصيهم بالتآخي في الله، والتعاطف والتراحم حتى يصيروا كالجسد الواحد كما قال رسول r: (إنما المؤمنون كالجسد الواحد، إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى)، هذا مطلوب إلى أبعد الحدود خاصة في أيام الفتن وأيام المحن، لابد من التآخي والتلاحم والتعقل في الأمور والابتعاد عن العواطف العمياء وعن التعصبات، أن يكونوا عقلاء ونبلاء ونبهاء وأن لا يستفزهم الشيطان (وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوّاً مُبِيناً)، (وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ * وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ)، هذه نصيحتي لنفسي ولأخواني، أوصيهم بالابتعاد عن أسباب الفرقة كل ما يؤدي إلى الفرقة والتنافر والتدابر والتقاطع، فهذا يجب الابتعاد عنه، ونحن ندعي أننا سلفيون وأننا نعمل بالكتاب والسنة وأننا ندعوا إلى جمع كلمة المسلمين على كتاب الله وعلى سنة رسول الله r فإذا بكثير منا مع الأسف الشديد يذهب هنا وهناك ولا يبالي بما يحصل من الفرقة والمشاكل والتحاسد والتباغض نسأل الله العافية، أنصح أخواني في أندونيسيا وأنصح أخواني في اليمن وأنصح أخواني السلفيين في كل مكان أن يتقوا الله في هذه الدعوة وأن يتلاحموا فيما بينهم وأن يتآخوا وأن يتناصحوا بالحكمة والموعظة الحسنة والابتعاد عن الأحقاد والضغائن والتشهير وما شاكل ذلك، أوصي كل الأطراف وفي كل مكان بهذه الأمور المفروضة علينا ليست تطوعاً منا وإنما الله أوجبها حماية لهذا الدين وحماية لهذه العقيدة وحماية لهذا الجمع الطيب من التشتت والتفرق، وأنتم تعرفون أن الأعداء كلهم وجهوا سهامهم إلى الدعوة السلفية علينا أن نتراحم وأن نتعاطف وأن نتكاتف وأن نقف صفا واحدا نرفع راية الإسلام وراية التوحيد وراية السنة، ونذب عن ذلك بالدليل والبرهان وبالحجة والبيان، وإذا كنا متلاحمين ومتآخين اجتمع الناس لما نقول وتقبلوا منا ما ندعوهم إليه، وإذا رأوا أننا من أكثر الناس تفرقاً وتمزقاً نفروا عنا وقالوا: لو كان هؤلاء على حق لما حصل هذا التفرق بينهم ولما حصلت هذه الاختلافات بينهم، (رَبَّنَا لا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ) (الممتحنة:5)، فهذه فتنة بارك الله فيك استعاذ منها إبراهيم ومن معه استعاذوا بالله أن يكونوا فتنة للذين كفروا، فلا تكونوا أيها السلفيون في كل مكان فتنة للذين كفروا ولأهل البدع والأهواء، فإن تفرقكم والله فتنة والله يفرح الأعداء ويجرّؤهم على هذه الدعوة وعلى الطعن فيها وفي سلفنا الصالح. نسأل الله تبارك وتعالى أن يؤلف بين القلوب وأن يجعل منا جميعا آذانا صاغية وقلوبا واعية منقادة لله تبارك وتعالى، مبتعدة عن أسباب الفرقة والخلاف، وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم. والسلام عليكم وحمة الله وبركاته.

(Dikutip dari Darussalaf. Diterjemahkan oleh al Ustadz Abu Karimah bin Jamal al Bugisi dari kaset nasehat asy Syaikh Rabi’ ibn Hadi al Madkhali melalui telepon untuk salafiyyin di Indonesia dan yang lainnya)
Sumber : Salafy.or.id