Mengapa Kita Harus Menamai Diri Kita Salafy...???
Penulis : Syaikh Nashiruddin Al Albani -rahimahullah-
Mengapa
kita memakai nama Salafy ? apakah penamaan itu bukan termasuk ajakan
kepada hizbiyah atau thaifiyah (seruan untuk berfanatik kepada kelompok
tertentu) ataukah merupakan kelompok baru dalam Islam? Sesungguhnya
istilah Salaf sudah dikenal dalam bahasa Arab maupun dalam syariat
Islam. Namun yang kita utamakan disini adalah pembahasan nama tersebut
dari segi syariat.
Dalam hadits
yang shahih disebutkan bahwa ketika Rasulullah salallahu ‘alaihi wa
sallam ditimpa penyakit yang menyebabkan kematiannya, beliau berkata
kepada Fathimah Radhiallahu anha: “Bertakwalah kepada Allah (wahai
Fathimah) dan bersabarlah. Dan aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu)
bagimu.”
Dan para
ulama pun sangat sering menggunakan istilah salaf sehingga terlalu
banyak untuk dihitung. Dan cukuplah salah satu contoh yang biasa mereka
gunakan sebagai hujjah untuk memerangi bid’ah: “Segala kebaikan adalah
dengan mengikuti jejak Salaf. Dan segala kejelekan ada pada bid’ahnya
kaum khalaf. Tetapi ada sebagian orang yang mengaku ulama (ahlul ilmi)
menolak penisbatan (penyandaran) diri kepada Salafi ini. Mereka
menganggap penisbatan ini tidak ada asalnya sama sekali! Menurut
mereka, seorang muslim tidak boleh mengucapkan : “Saya pengikut para
Salafus Shalih dalam segala apa yang ada pada mereka baik dalam
beraqidah, ibadah maupun berakhlak.”
Tidak
diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini, kalau memang demikian
yang mereka maksudkan, menunjukkan adanya tindakan untuk melepaskan
diri dari pemahaman Islam yang shahih (benar) sebagaimana yang dipahami
dan dijalani oleh salafus shalih dan pemimpin mereka Rasulullah
salallahu ‘alaihi wa sallam.
Seperti tersebut dalam hadits mutawatir yang terdapat dalam shahihain (Bukhari-Muslim) dan lain-lain bahwa Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para Shahabatku), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in)”.
Oleh
karena itu, seorang muslim tidak boleh melepaskan diri dari penisbatan
kepada Salafus Shalih. Sebab tidak mungkin para ulama akan menisbatkan
istilah salaf kepada kekafiran maupun kefasikan. Sementara orang-orang
yang menolak penamaan itu sendiri, apakah mereka tidak menisbatkan
dirinya kepada salah satu madzhab yang ada? Baik madzhab yang
berhubungan dengan aqidah maupun fiqih? Mereka ini kadang-kadang ada
yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Asy’ariyah atau Maturudiyah.
Ada pula yang menisbatkan
dirinya kepada para ahlul hadits seperti Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah, atau Hambaliyah yang (kelima madzhab yang terakhir ini)
masih termasuk dalam lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Padahal
orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Asy’ariyah atau
madzhab imam yang empat (al-Aimmah al-Arba’ah) tidak diragukan lagi
bahwa mereka itu menisbatkan diri kepada person atau orang-orang yang
tidak ma’shum (terpelihara dari kesalahan), meskipun diantara mereka
terdapat ulama yang benar.
Alangkah lebih baik kalau
sekiranya mereka mengingkari penisbatan kepada orang-orang yang tidak
ma’shum tersebut. Adapun orang yang menisbatkan diri kepada salafus
shalih, sesungguhnya dia telah menisbatkan dirinya kepada yang ma’shum
(yakni Ijma’ para shahabat secara umum). Nabi salallahu ‘alaihi wa
sallam telah menyebutkan ciri-ciri Al-Firqah An-Najiyah (golongan yang
selamat), yaitu mereka yang senantiasa berpegang kepada sunnah
Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah para Shahabatnya
Ridhwanullah ‘alaihim ‘ajma’in.
Barangsiapa berpegang teguh kepada sunnah mereka, maka dia pasti akan mendapat petunjuk dari Rabbnya. Penisbatan kepada salaf ini akan memuliakan orang-orang yang menisbatkan
dirinya kepada mereka dan akan menuntunnya dalam menempuh jalan
Al-Firqah An-Najiyah.
Sedangkan orang yang menisbatkan
dirinya kepada selain mereka, tidaklah demikian keadaannya. Karena
dalam hal ini dia hanya mempunyai dua alternatif.
Pertama, boleh jadi dia menisbatkan diri kepada seseorang yang tidak ma’shum.
Kedua,
dia menisbatkan dirinya kepada orang-orang yang mengikuti madzab
tersebut yang tentu saja tidak ada kema’shuman sama sekali.
Sebaliknya para shahabat Nabi
salallahu ‘alaihi wa sallam secara keseluruhan merupakan orang-orang
yang terpelihara dari kesalahan. Dan kita telah diperintahkan untuk
berpegang teguh kepada sunnahnya salallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah
para shahabatnya. Hendaklah kita senantiasa konsisten terhadap
pemahaman Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan manhaj (metode
pemahaman) para shahabat. Agar kita tetap berada di dalam”al-’ishmah”
(terlindung dari kesesatan) dan tidak menyimpang dari manhaj mereka,
dengan memakai pemahaman sendiri yang sama sekali tidak didukung oleh
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kemudian, mengapa tidak cukup
bagi kita dengan hanya menisbatkan diri kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
saja, tanpa pemahaman Salafus Shalih? Maka dalam hal ini ada dua sebab :
Pertama, sebab yang berhubungan dengan nash-nash syar’iah.
Kedua, sebab yang berhubungan dengan kenyataan yang ada pada kelompok-kelompok Islam.
Kedua, sebab yang berhubungan dengan kenyataan yang ada pada kelompok-kelompok Islam.
Penjelasan.
1. Yang berhubungan dengan sebab pertama:
Kita temukan dalam nash-nash syar’iah, perintah untuk mentaati segala sesuatu yang disandarkan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri (ulama dan umara) di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), bila kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa:59)
1. Yang berhubungan dengan sebab pertama:
Kita temukan dalam nash-nash syar’iah, perintah untuk mentaati segala sesuatu yang disandarkan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri (ulama dan umara) di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah), bila kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa:59)
Seandainya ada seorang Waliyul
Amri (pemimpin kaum muslimin) yang telah dibaiat oleh kaum muslimin
maka kita wajib taat kepadanya, sebagaimana kita wajib taat kepada
Al-Kitab dan As-Sunnah. Meskipun dia dan para pengikutnya kadang-kadang
berbuat salah. Kita wajib taat kepadanya untuk mencegah kerusakan yang
ditimbulkan karena perselisihan tersebut, tetapi ketaatan itu harus
dengan syarat yang sudah dikenal, yaitu:”Tidak ada ketaatan kepada
makhluk dalam maksiat kepada Allah.” (HR Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Silsilah Shahihah, hadits no.197)
Dan Allah Azza wa Jalla juga
berfirman : “Barang siapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran
baginya dan mengikuti selain jalannya Sabilil Mukminin (para shahabat),
maka kami biarkan dia tenggelam dalam kesesatan (berpalingnya dia dari
kebenaran) dan kami masukkan ke neraka Jahannam. Dan itu merupakan
seburuk-buruk tempat kembali.”(An-Nisa’:115)
Sungguh, Allah Azza wa Jalla
adalah Dzat yang Maha Tinggi sehingga tidak mungkin Dia berkata tanpa
faedah dan hikmah. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa
penyebutan Sabilul Mukminin (jalannya orang-orang mukmin) dalam ayat
ini mempunyai hikmah dan faedah yang sangat tinggi.
Penyebutan ini menunjukkan bahwa
di sana ada suatu kewajiban yang sangat penting, yaitu : ittiba’ kita
terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah harus sesuai dengan manhaj yang
dipahami dan dijalankan oleh generasi awal kaum muslimin, para shahabat
ridhwanullah alaihim kemudian generasi berikutnya (para tabi’in),
kemudian generasi berikutnya (tabi’ut tabi’in). Dan seruan inilah yang
senantiasa dikumandangkan oleh Da’wah Salafiyah sekaligus menjadi
rujukan utama mereka, baik dalam asas dakwah maupun dalam manhaj
tarbiyah.
Sesungguhnya dakwah Salafiyah
pada hakekatnya hendak menyatukan umat Islam, sedangkan dakwah-dakwah
yang lain justru sebaliknya memecah-belah umat. Allah Ta’ala berfirman :
“Dan hendaklah kamu bersama-sama orang yang benar.”(At-Taubah:119)
Maka barang siapa yang ingin
memisahkan Al-Kitab dan As-Sunnah di satu sisi dan para Salafus Shalih
di sisi lain, dengan memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah
tidak sesuai dengan pemahaman mereka, maka selamanya dia tidak akan
menjadi orang yang shadiq (benar).
2. Yang berhubungan dengan sebab kedua.
Kelompok-kelompok dan partai yang ada pada zaman ini tidak mau beralih secara total kepada Sabilul Mukminin yang tersebut pada ayat di atas, yang hal ini diperkuat oleh beberapa hadits. Antara lain hadits “Iftiraqul Ummah” (perpecahan umat) menjadi 73 firqah (golongan), semuanya masuk neraka kecuali satu golongan yang ciri-ciri mereka telah disebutkan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam : “Golongan itu ialah yang mengikuti sunnahku dan sunnah para shahabatku hari ini.”(lihat : Silsilah Al-Hadits Ash-Shohihah, Syaikh Al-Albani no 203 & 1192)
Kelompok-kelompok dan partai yang ada pada zaman ini tidak mau beralih secara total kepada Sabilul Mukminin yang tersebut pada ayat di atas, yang hal ini diperkuat oleh beberapa hadits. Antara lain hadits “Iftiraqul Ummah” (perpecahan umat) menjadi 73 firqah (golongan), semuanya masuk neraka kecuali satu golongan yang ciri-ciri mereka telah disebutkan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam : “Golongan itu ialah yang mengikuti sunnahku dan sunnah para shahabatku hari ini.”(lihat : Silsilah Al-Hadits Ash-Shohihah, Syaikh Al-Albani no 203 & 1192)
Hadits ini serupa dengan ayat di
atas (QS. An-Nisa: 115), dimana keduanya menyebutkan Sabilul Mukminin.
Kemudian dalam hadits lain dari Irbadh bin Sariyah, Rasulullah
salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku”(lihat:Irwa’ul Ghalil,Al-Albani no 2455)
“Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku”(lihat:Irwa’ul Ghalil,Al-Albani no 2455)
Berdasarkan keterangan di atas,
maka di sana ada sunnah yang harus kita pegang teguh yaitu sunnah
Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah khulafaur Rasyidin.
Oleh karena itu, kita wajib kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
serta Sabilul Mukminin (jalannya para shahabat). Tidak boleh kita
mengatakan: “Kami memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman
sendiri, tanpa memandang sedikitpun pada pemahaman Salafus Sholih.”
Pada zaman sekarang ini, kita
harus melakukan bara’ (pemisahan diri) yang betul-betul bisa membedakan
diri kita dengan golongan sesat lainnya. Tidak cukup bagi kita hanya
dengan mengucapkan:”saya muslim” atau “madzhabku Islam”, sebab
golongan-golongan yang sesatpun menyatakan demikian. Seperti kaum Syiah
Rafidhah, Ibadhiyyah, Qadiyaniyyiah (Ahmadiyah) maupun
golongan-golongan sesat lainnya. Sehingga apa bedanya kita dengan
golongan sesat tersebut?
Bila kita mengatakan : “Saya
seorang muslim yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah.” Ucapan ini
masih belum cukup karena kelompok-kelompok (sesat) seperti Asy’ariyah,
Maturudiyah, dan kaum Hizbiyah, mereka juga mengaku mengikuti Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
Sehingga tidak diragukan lagi
bahwa penamaan yang jelas dan gamblang serta dapat membedakan antara
golongan yang selamat dengan golongan yang sesat ialah dengan
mengatakan: “Saya seorang muslim yang mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah
sesuai dengan manhaj Salafus Shalih” atau lebih singkatnya: “Saya
Salafi!”
Oleh sebab itu, sesungguhnya
kebenaran yang tidak bisa disangsikan lagi ialah : tidak cukup kita
hanya bersandar dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa tuntunan dari
manhaj Salafus Shalih, baik dalam pemahaman dan pola pikir, dalam ilmu
dan amal, maupun dalam dakwah dan jihad.
Kita semua mengetahui bahwa
mereka semua (para Salafus Shalih ridhwanullah alaihim ajma’in) tidak
fantaik terhadap satu madzhab atau kepada individu tertentu. Sehingga
kita tidak pernah menemukan di antara mereka ada yang bersikap fanatik
tergadap Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, ataupun Ali bin
Abi Thalib radiyallahu anhum.
Bahkan sebaliknya seorang
diantara mereka jika memungkinkan untuk bertanya kepada Abu Bakar atau
Umar atau Abu Hurairah, maka mereka akan bertanya kepadanya (tanpa
memilih-milih). Semua itu mereka lakukan karena mereka meyakini bahwa
tidak boleh seseorang memurnikan ittiba’nya kecuali kepada seorang
yaitu Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab beliau salallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah berkata menurut hawa nafsunya, melainkan
hanyalah berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Kalaupun kita bisa menerima
bantahan orang-orang yang mengkritik pemahaman salafi, sehingga kita
cukup hanya menamakan diri dengan istilah muslim saja, tanpa
menisbatkan diri kepada Salafus Shalih meskipun penisbatan tersebut
merupakan penisbatan yang mulia dan shahih. Lantas apakah dengan
demikian orang-orang yang mengkiritik itu bersedia melepaskan diri dari
penamaan terhadap kelompok-kelompok, madzhab-madzhab,
thariqat-thariqat mereka meskipun penisbatan itu semua tidak syar’i dan
tidak shahih?
“Cukuplah
bagimu perbedaan diantara kita ini. Dan setiap bejana akan memancarkan
air yang ada di dalamnya.” Allahlah yang memberi petunjuk kepada jalan
yang lurus. Dan Dialah tempat meminta pertolongan.
(Dikutip dari Majalah Salafy- Edisi Perdana/Syaban/1416/1995, Rubrik Mabhats, hal 8-10)
sumber dari: http://www.salafy.or.id/